“Perhiasan terbaik seorang wanita adalah rasa malunya.”
__Fatimah binti Muhammad__***
Pangeran Kahfa memandangi satu surat baru yang datang dengan perasaan gamang. Ini surat ketiga yang telah diterimanya. Lagi-lagi surat ini masih membuatnya bingung. Tidak mungkin seorang Shafaq tanpa sungkan bermanja-manja dengannya walaupun hanya di surat. Kegelisahan Pangeran Kahfa bertambah saat semalam ia memimpikan Shafaq—istrinya itu tengah berjongkok sembari menangis di pojok ruangan dalam mimpinya. Perasaannya sungguh tidak enak.
Keadaan sudah membaik karena adanya perundingan dan diberlakukannya gencatan senjata.
Kini Pangeran masih menatap gamang surat itu di dalam kamarnya. Pintunya diketuk beberapa kali, membuat lamunan Pangeran Kahfa terganggu kemudian Pangeran cepat-cepat membukakan pintu.
Di depan pintu sudah ada Syaid—sang adik ipar—menunggu dengan wajah cemas.
“Pangeran, bagaimana kabar kak Shafaq? Semalam ummi mengkhawatirkannya, bahkan ummi sampai bermimpi buruk tentangnya,” kata Syaid dengan nada cemasnya.
“Terakhir dia terkena luka panah—“
“APA!?” sela Syaid dengan nada tinggi.
“Dia baik-baik saja saat itu. Aku juga merasakan hal yang sama, khawatir. Sore nanti aku kembali ke sana,” kata Pangeran Kahfa tenang.
“Baiklah, jika sampai terjadi apa-apa dengan kakakku, kamu yang duluan kuhabisi, Pangeran. Teganya kau meninggalkan istrimu di tengah kekacauan seperti ini,” sarkas Syaid kemudian pergi tanpa salam.
Pangeran hanya menghembuskan nafasnya pelan, Syaid—anak itu terkenal dengan adab dan akhlaknya yang baik, tapi menjadi tidak sopan karena mengkhawatirkan kakaknya. Pangeran paham akan itu hingga tak memasukkan hati gertakan Syaid tadi.
Pangeran Kahfa melihat Rendra yang tengah melintas dengan membawa sebuah baju besi—Pangeran berlarian kecil mengejar Rendra, “Rendra, tolong bantu aku siapkan izin ke ayah untuk memakai garuda ke Ujung Rabbani,” katanya saat langkahnya sudah sejajar dengan Rendra. Rendra tampak berfikir kemudian mengangguk ragu.
***
Malka masih terdiam sambil sesekali melirik Pangeran Kahfi yang tengah menyalakan api untuk menghangatkan keduanya. Saat ini entah kenapa Pangeran Kahfi membawanya ke daerah bersalju membuat gigi Malka bergemeletuk karena menggigil. Pangeran Kahfi sama sekali belum mau membuka suaranya sejak membawa Malka naik ke kuda sewaannya karena tiba-tiba ada rombongan Thabrani datang.
“Sekarang aku memberimu dua pilihan, Malka. Kembali ke kerajaanmu atau tetap di sini. Bagaimanapun tempatmu bukan di sini,” kata Pangeran Kahfi dingin. Suhu udara di sini masih kalah dingin dengan perkataan Pangeran bahkan parahnya itu membuatnya membeku di tempat. Duduk tak berkutik kemudian menunduk untuk menyembunyikan air mata.
“Saya...akan pergi. Tidak ke Thabrani maupun di Rabbani. Saya akan pergi jauh sejauhnya dari Pangeran dan saya akan meninggalkan putra saya bersama Tuan. Saya ingin Pangeran menjatuhkan talak pada saya,” kata Malka sedikit terbata dan meragu.
Pangeran Kahfi terdiam, tidak tau harus merespon apa karena baginya ini bukan jawaban yang ia inginkan. Kenapa lidahnya kelu untuk mengucapkan talak yang dapat memisahkan hubungan mereka dan membiarkan wanita itu pergi jauh darinya.
“Saya sangat berterima kasih atas kebaikan Tuan selama ini, saya rasa ini saatnya saya pergi dari posisi yang tidak seharunya saya tempati. Saya sadar saya hanya parasit di hidup Tuan—mengacaukan dan membuatmu cacat di mata kerajaanmu sendiri hanya karena dituduh berzina dengan wanita tak terhormat sepertiku. Saya—“
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."