[12] HATI YANG MEMBEKU

906 87 8
                                    


Suatu saat nanti, kamu tidak akan dapat melihat ketulusan dalam sorot mataku. Karna hatiku sudah lupa dengan yang namanya perasa dan ketulusan.
__Shafaq Atifa__

***

Apa hanya aku saja yang merasa canggung, lihatlah, dia bahkan tak menunjukkan tanda-tanda kecanggungannya—Pangeran Kahfa membatin.

Sejak insiden rambut itu, Pangeran Kahfa menjadi malu dan canggung setiap bersitatap dengan sang istri, aneh bukan? Sedang Shafaq hanya memasang wajah datarnya, lebih tepatnya ia lebih pandai menutupi ekspresi hatinya yang juga sebenarnya tengah bertalu-talu ingin keluar.

Rasa malu dan canggung.

Perasaan itulah yang terlihat manis bagi sepasang kekasih halal. Perasaan itu yang menjadi sebuah magnet tersendiri untuk menunjukkan hati yang memang mencintai dalam pernikahan.

Kalau ditanya apakah Shafaq ingin menjalani pernikahan ini dengan kontrak, sandiwara atau apapun; jawabannya tidak. Baginya ketika sudah menjatuhkan pilihan maka ia siap menjalani dengan sebaik-baiknya. Pernikahan ini akan wajar dan akan terjadi seperti pernikahan pada umumnya.

Bukan Shafaq menolak keras sebuah kata poligami, tapi ia hanya tidak ingin jika nantinya dirinya tidak sanggup dan malah mendapat penyakit hati berupa iri dan dengki.

Ia jelas tidak mau.

Kalau ditanya apakah dirinya mencintai Pangeran Kahfa, jawabannya adalah belum.
Sebab Shafaq yakin akan satu janji Allah; Allah menjanjikan cinta pada sebuah pernikahan. Tetapi Allah tidak menjanjikan pernikahan pada dua orang yang saling mencintai.

“Kenapa masih di luar? Angin laut malam tidak baik untuk kesehatan,” ucap Pangeran Kahfa menghampiri Shafaq yang tengah menatap genangan air laut yang nampak tenang.

Shafaq menoleh ke arah Pangeran Kahfa kemudian menjawab, “Aku mau sakit, supaya kau rawat.” Seketika Pangeran Kahfa mematung dengan mulut menganga.

Shafaq-nya berani menggodanya?

“Bercanda!” kata Shafaq setelah melihat ekspresi Pangeran Kahfa.

Pangeran cepat-cepat mengontrol ekspresi kemudian tersenyum.

“Mau aku rawat, atau mau aku peluk karna kedinginan di sini,” balas Pangeran Kahfa dengan godaan.

“Tepatnya, aku lebih memilih masuk ke dalam daripada jatuh ke pelukanmu,” sahut Shafaq enteng.

“Oh, benarkah?” Pangeran hanya tersenyum manis kemudian mencekal lengan Shafaq yang ingin pergi dari hadapannya.

“Sayangnya, Aku yang ingin jatuh ke pelukanmu. Sebentar saja ya,” kata Pangeran Kahfa sembari memeluk tubuh Shafaq yang kini sedang kaku.


Detak jantung keduanya yang saling membalap, kehangatan tubuh keduanya dan tiupan angin laut di tengah malam. Di perjalanan menuju Ujung Rabbani, di atas kapal besar itu. Untuk pertama kalinya, bongkahan es dalam hati Shafaq seakan meleleh. Benarkah jika kutukan ini berakhir? Shafaq berharap ‘iya’ dan ‘tidak’.

Sebab keduanya sama-sama melukai Pangeran Kahfa.

Tanpa sadar, tangan Shafaq membalas pelukan Pangeran Kahfa. Berada dengan pria itu ia merasa dilindungi dan merasa hatinya kian menghangat. Shafaq menangis dalam diam dalam pelukan sang suami.

Benarkah cinta sejatinya adalah Ahmad Kahfa Rabbani?

***

Sihir.

Kerajaan RabbaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang