Hari itu aku temukan sisi lainmu, dibalik gunung es itu ternyata ada sebuah api panas dalam hatimu. Sedihnya, kebersamaan kita akan dihantui rasa takut kehilangan.
__Ahmad Kahfa Rabbani__***
Sebulan setelah kebersamaan keduanya, sedikit demi sedikit telah meluruhkan dinding pembatas itu. Pangeran Kahfa sudah terbiasa dengan respon sang istri yang kadang cuek bahkan cenderung tak menganggapnya ada. Tapi, baginya Shafaq merupakan istri yang baik dan selalu berbakti padanya.
Seperti saat ini, Pangeran baru saja pulang dari sawah untuk membantu warganya membuat saluran irigasi. Baru saja membuka pintu sudah disuguhi senyum tipis Shafaq, kemudian masakannya yang lezat, membuat semua lelahnya menguap.
“Aku cuman rebus ubi, sisa dari kapal. Pangeran mandilah dulu, sudah ku timbakan air,” kata Shafaq sembari mengeluarkan beberapa buah ubi ungu dari kendi.
“Shafaq, sudah berapa kali aku bilang, jangan ambilkan aku air, aku bisa sendiri. Jangan jadi seperti pembantuku, jadilah istriku, itu saja,” tutur Pangeran Kahfa lembut. Shafaq menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sebelum menjawab, “Sudah kewajibanku.”
Setelah melaksanakan kewajiban barulah aku dapat hak-ku, keluh Pangeran Kahfa dalam hati. Sungguh, jika menikah merupakan obat tapi mengapa rasanya Shafaq membuat pernikahan ini seperti penyakitnya. Lebih sakit menahan setelah halal, tapi tak tega karna memaksa.
“Ada satu ke—“
“Aku mau angkat jemuran!” sela Shafaq cepat.
***
Pangeran Kahfi melesatkan anak panahnya ke sembarang arah, berbahaya memang, tetapi hanya itu pelampiasan amarahnya.
“Kak Kahfi!?”
Astaghfirullah. Dalam situasi seperti ini saja ia mendengar suara adiknya.
“Hampir menembus telingaku!” Suara itu makin jelas dan seolah nyata. Pangeran Kahfi menoleh dan mendapati Putri Fatonah tengah membawa satu karung rumput yang digeretnya.
“Maaf. Tidak melihat,” jawab Kahfi cuek.
“Malka sama Kak Kahfi ada hubungan apa? Aku sebagai adikmu, hanya ingin mengingatkan bahwa tidak baik sering berbicara hanya berdua-duaan—
“Aku tidak berduaan jika kamu saat ini mengetahuinya. Kamu pengupingnya, kamu orang ketiganya,” tukasnya sadis sembari melirik kesal ke arah sang putri.
Beberapa hari lalu, Putri Fatonah memang sering melihat Kahfi tengah bercengkrama dengan salah seorang pelayan istana bernama Malka. Entah mengapa, firasatnya mengatakan sesuatau hal telah terjadi antara keduanya.
Pangeran Kahfi memilih beranjak dari posisinya untuk meninggalkan Putri Fatonah yang sibuk menggeret sekarung rumput untuk diletakkan ke kandang sapi. Baginya, meskipun dia seorang putri, ia tetap manusia biasa, tetap wanita yang seharusnya memiliki kemampuan untuk bersih-bersih. Banyak yang bilang jika dirinya hanya mencari muka.
Putri Fatonah hanya acuh menanggapinya. Baginya, pandangan orang itu ada dua tipe yang harus diperhitungkan. Sebagai bahan penilaian atau sebagai bahan pemutus semangat beramal. Jika merasa bahwa dirinya tidak seperti apa yang orang bilang, ia hanya meyakinkan diri bahwa yang tau hatinya hanya dirinya. Bukan siapapun itu. hanya dia dan Allah yang tau niatnya untuk apa.
“Putri, Sultan memanggil, putri dimohon cepat menghadap,” Sang Putri menoleh saat seorang gadis yang masih amat belia itu menyampaikan amanat si orang nomor satu di Rabbani. Sambil tersenyum, Putri Fatonah mengangguk, “Kamu kasih makan sapinya ya.” Gadis tadi mengangguk patuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."