[14] TERLUKA

927 93 4
                                    


Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian yang lain.
***

“Mari, bersaing!” ajak Shafaq bersiap dengan posisi memanah. Sedangkan Pangeran Kahfa masih mencerna ajakan Shafaq. Bukankah secara tidak langsung, Shafaq menyetujuinya?

Pangeran Kahfa mengulum senyum sambil memandangi Shafaq yang memfokuskan sasaran.

Set.

Tag.

Uhuk.

Bunyi anak panah disusul menancapnya anak panah ke sasaran kemudian batuk yang lebih layak disebut semburan—membuat Pangeran Kahfa menoleh kilat ke arah Shafaq yang telah bersimbah darah.

Istrinya itu muntah darah. Jangan bayangkan hanya sedikit, melainkan banyak. Hampir seperti air yang mengalir melalui selang. Pangeran Kahfa langsung mendekat dan menatap khawatir pada Shafaq yang terduduk terus memuntahkan darah.

Pangeran Kahfa tak berkutik, terlalu cepat, terlalu mustahil, terlalu menyakitkan. Ia masih mematung.

Tangan Shafaq mulai menggapai-gapai sesuatu, Pangeran yang melihatnya langsung menggamit tangan Shafaq, perlahan wajah berantakan dengan bercak darah itu menoleh ke arah Pangeran Kahfa yang juga tengah berjongkok di sebelahnya.

Mata Shafaq tidak lagi biru, melainkan merah bahkan urat-urat di warna putih yang mendominasi mata itu terlihat tegas berwarna merah. Tangan Shafaq dingin sedingin es. Dengan refleks Pangeran Kahfa menggendong Shafaq dan membawanya ke dalam rumah. Pangeran sendiri bingung harus melakukan apa. Istrinya itu sudah tidak sadarkan diri.

Ya Allah, ada apa ini? Batinnya bertanya-tanya.

Pangeran Kahfa mencari-cari tanda luka di sekujur tubuh Shafaq namun tidak ada, lalu mengapa istrinya itu muntah darah sebanyak itu?

Dirasakannya denyut nadi Shafaq yang melemah, Pangeran Kahfa benar-benr bingung. Ingin memanggil orang lain tapi tak rela meninggalkan Shafaq seorang diri. Masih dengan mengecek denyut nadi itu—memastikan istrinya tetap hidup—Pangeran Kahfa putus asa ia hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan apa-apa.

Tubuh Shafaq sudah kaku dan dingin. Pangeran Kahfa memilih keluar kemudian mendatangi salah satu rumah warga yang paling dekat.

“Astaghfirullah, ada apa dengan pakaian Tuan yang berdarah seperti ini?” tanya pria baya itu menahan pekikan.

“Tolong, bantu saya, istri saya sakit. Hampir sek—sekarat,” ucap Pangeran Kahfa menatap bergantian pasangan suami istri di depannya.

“Innalillahi, ayo kita segera ke sana. Biar saya panggilkan tabib, istri saya yang ikut Tuan,” tukas pria baya tersebut, Pangeran Kahfa hanya mengangguk. Tidak ada gunanya juga ingin menolak.

***

Pangeran Kahfa merebahkan tubuhnya di samping Shafaq yang masih terpejam. Ia masih belum bisa menalar tentang penyakit Shafaq, bukan, ini bukan penyakit melainkan sihir yang dikirim. Menurut keterangan tabib, Shafaq bisa pulih sendiri. Ada sebuah sayatan yang dikirim secara gaib tepat di hatinya yang membuatnya muntah darah. Dan darah itu bukan darah biasa, darah itu merupakan darah murni Shafaq yang apabila terus keluar akan mematikan hatinya.

Kenapa Shafaq tidak menceritakan perihal ini padanya?

Artinya selama ini kesakitan itu sudah sering istrinya rasakan sendiri?

Pangeran Kahfa mengamati wajah pucat Shafaq yang masih anteng terpejam, entah keberanian dari mana Pangeran mendaratkan bibirnya ke kening Shafaq. Memberi kehangatan lama dan penuh cinta. Hati Pangeran Kahfa berdesir halus merasakan perasaan yang takut kehilangan Shafaq. Jika ia boleh memilih, ia ingin memilih Shafaq membencinya saja sebagai balas jika ia ingin menatap gadis bermata biru itu setiap hari.

Kerajaan RabbaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang