“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (periharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [Q.S An-Nissa: 1]***
“Wanita berhak menolak atau membatalkan lamaran, walaupun orang yang melamarnya adalah seorang laki-laki shalih namun ia tidak menyukainya. Hal ini berdasarkan hadist; Seorang janda tidaklah dinikahkan sehingga dimintai pendapatnya. Tidak pula seorang gadis dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya.. (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi. Hasan shahih, Al-jani’fi fiqhi an-Nissa hal:400)” tutur Ali pada putrinya.
“Jadi Abi ingin mendengar jawaban Shafaq, apakah Shafaq ingin menerima lamaran Pangeran Kahfa?” tanya Ali. Shafaq mengangkat wajahnya menatap lurus ke arah ayahnya.
“Tanpa Shafaq manjawab, seharusnya Abi sudah tahu. Jawabannya adalah tidak,” jawab Shafaq mantap.
“Abi tidak memaksa, jika itu pilihanmu. Abi akan sampaikan jawabanmu padanya.” Ali segera beranjak dari duduknya lalu menghampiri Rumaisha, ibu Shafaq dan istri pertamanya.
“Titip putriku, aku menyayanginya,” ucap Ali tulus sambil mengecup hangat kening Rumaisha.
Tanpa sadar air mata Shafaq menetes, ingatannya berputar saat abinya meninggalkan rumah saat umurnya empat belas tahun terngingang-ngiang diingatannya. Saat itu ia benar-benar membenci ayahnya yang lebih memilih tinggal di kerajaan Froz dan hanya mengunjungi ibunya sebulan sekali. Tanpa disadarinya sejak saat itulah hatinya membeku dan tertutup untuk seorang lelaki.
Pandangan Ali beralih pada Shafaq, merasa ketahuan sedang menatap sang ayah, Shafaq segera mengalihkan wajahnya menatap ke sembarang arah. Suara langkah itu terdengar mulai mendekat membuat Shafaq menegang.
“Abi pamit, jaga Ummimu, jangan tinggal di bilik itu lagi. Temani Ummi dan Syaid di sini. Abi akan kembali lagi, Abi minta maaf. Jaga bidadari Abi ya, jaga Ummimu,” ucapnya lembut sambil mengusap sayang kepala Shafaq.
Air mata Shafaq sudah tidak dapat dibendung lagi. Tangisnya tumpah bersamaan dengan luka lama yang kembali menyeruak ke permukaan.
“Ya.” Setelah mengatakan itu Shafaq segera beranjak meninggalkan Ali dan Rumaisha yang hanya mematung.
***
Pangeran Kahfa menatap lurus ke arah luar jendela kamarnya, ia disuguhkan pemandangan adik perempuan satu-satunya, Putri Fatonah, yang sedang memimpin majelis dengan para dayang-dayang kerajaan.
“Saya Pangeran Kahfa Rabbani, putra kedua Raja Sulaiman dengan Permaisuri Maryam,” ucapnya kala itu memperkenalkan diri pada Rumaisha, ibu Shafaq.
“Maasya Allah, Pangeran Kahfa? Ada perlu apa kiranya Pangeran kemari? Ingin memesan bunga atau pedang?” tanya Rumaisha bersemangat.
“Saya—saya ingin melamar putrimu, Shafaq.” Setelahnya Pangeran Kahfa merasakan kegugupan yang luar biasa. Sampai-sampai ia merasakan bahwa peluhnya mengalir di dadanya.
“Putri saya? Shafaq Atifa?” Rumaisha setengah tak percaya. Pangeran Kahfa mengangguk mantap.
“Mengapa kau ingin menikahinya?”
“Karena—hati saya terusik olehnya,” jawabnya lirih sambil menunduk dalam.
“Baiklah, saya akan memberitahu ayah Shafaq terlebih dahulu. Terimakasih kedatangannya, Pangeran,” ucap Rumaisha tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritualité"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."