“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa saja yang mengingkari taghut dan mengimani Allah, sungguh ia telah berpegang pada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu.
(TQS. Al-baqarah[2]: 256)
***“Ujung Rabbani di serang pasukan Raja Indra, agaknya dia memanfaatkan kekacauan istana dan menyerang Pangeran Kahfa. Saya juga ingin mengabarkan bahwa seluruh penduduk sudah dievakuasi dan pasukan Wahid sedang diobati,” terang Rendra pada orang nomor satu di Rabbani. Beberapa jam setelah kepergian—pernikahan dan malam pengantin yang terhambat—serangan itu datang ke Kerajaan, dan itu membuat Rendra meninggalkan Putri Fatonah di malam pengantinnya.
Pangeran Kahfi memilih mengangkat kaki dari istana dan melepas tanggung jawabnya sebagai pimpinan pasukan Akbar. Sebelum kepergiannya, sudah lebih dulu ia dinikahkan paksa dengan Malka. Istana benar-benar sedang mimpi buruk, entah musibah atau berkah. Dua anak raja itu menikah bersamaan. Dan yang paling pedih, si putra mahkota harus meninggalkan rumahnya—istananya.
Sang Sultan mengangguk dan memerintahkan orang kepercayaan sekaligus menantunya itu kembali ke kamarnya.
Sepanjang langkahnya menuju kamar Putri Fatonah, hatinya bimbang. Bagaimana memulainya kembali?
“Aku ingin membantu mengobati pasukan tapi ayah melarangnya,” kata Putri Fatonah saat baru saja Rendra membuka pintu kamarnya. Rendra hanya mengangguk kemudian membuka tirai jendela—melihat suasana apakah sudah aman atau belum—aman.
Saat Rendra hendak menengok ke arah Putri, tubuhnya sudah lebih dulu ditubruk tubuh mungil seseorang, dan lagi suara isakan itu terdengar, tubuh Rendra masih kaku, bingung harus bagaimana meresponnya. Putri Fatonah yang dikenal pintar, pemalu, kini sedang memeluknya. Ah, jangankan untuk memeluk—sebelum perang—mereka hampir saja...
“Luka panah di lututmu belum sepenuhnya pulih, sekarang bagian mana lagi yang terluka?” tanya Putri Fatonah masih dalam posisi yang sama. Rendra mengulum senyumnya—ternyata khawatir kah yang dirasakan istrinya? Sekarang sudah sah menjadi istrinya kah? Ah, rasanya masih seperti mimpi.
“Ada, di bagian sini,” Rendra menunjuk dada kirinya. Sang Putri cepat-cepat memeriksanya tapi tidak ada darah yang merembes ke baju itu.
“Tidak ada,” katanya setelah lelah memeriksanya beberapa kali.
“Hatiku terluka melihatmu menangis, bahkan untuk menangisi diriku sendiri,” kata Rendra menahan senyum geli.
“Hah? Aku kau kerjai rupanya.” Putri memukul pelan dada kiri itu.
“Ksatria Ali-ku pasti baik-baik saja, untuk menemui Fatimahnya,” lanjutnya kemudian kembali memeluk erat suaminya.
Sang Putri tidak tau harus bagaimana menyikapi pernikahannya dengan Rendra, secara status Rendra bukanlah orang yang sederajat dengannya. Tetapi sejak kecil selalu bersama dengan Rendra, membuat rasa itu tumbuh begitu subur. Namun, Putri selalu mengemasnya rapi sekali. Dan semesta seolah mendukung, Rendra juga menyimpan perasaan itu sudah lama.
Bagaimanapun keadaannya, apapun keadaannya, siapapun orangnya. Kamu tidak bisa menahan ataupun menghalangi takdir.
Hati Putri Fatonah sempat goyah saat lamaran kesultanan Syam datang, Rendra juga tak kunjung melamar—padahal Putri sudah sangat mempersiapkan diri. Padahal hati Putri sudah jatuh pada pesona Pangeran Yusuf—yang malah menunjukkan belangnya sebelum pernikahan itu terjadi. Bukan main malunya, saat seluruh negeri tau jika ia gagal menikah. Langkah sang ayah menjadikan Rendra sebagai penutup malu tidaklah sepenuhnya menyakitkan. Karna jodoh telah menuntunnya kemana pelabuhan itu mendarat dan menancapkan jangkarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Espiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."