[23] KEGUNDAHAN PERMAISURI

838 79 1
                                    

Karena aku lelaki yang kurang mengerti perasaan perempuan

__Ahmad Kahfa Rabbani__

***

“Setelah ini, biarkan dia istirahat. Ummi ingin buatkan makan untukmu, titip Shafaq sebentar,” kata Rumaisha kemudian beranjak dari duduknya setelah memakaikan pakaian pada tubuh kedinginan Shafaq—selama memakaikan pakaian tadi, Pangeran Kahfa sengaja berpamit ke kamar kecil padahal hanya ingin menghindari.

“Baik, ummi. Saya masuk ke dalam,” jawabnya kemudian mengangguk sopan.

Pangeran melangkahkan kakinya memasuki bilik sederhana milik ibu mertuanya itu, langkahnya terhenti untuk memandangi wajah pucat Shafaq yang tengah terpejam. Pangeran tidak ingin berspekulasi, apakah mungkin Shafaq sudah disentuh Thabrani atau belum. Tapi ia meyakinkan dirinya bahwa ia akan menerima apapun itu kenyataannya.

“Pangeran Kahfa, makanan sudah siap. Ayo, ummi temani makan.” Rumaisha muncul, lebih cepat dari perkiraan Pangeran Kahfa atau dirinya yang terlalu lama memandangi wajah Shafaq.

“Makan seadanya, ummi hanya punya ini,” kata Rumaisha menyiapkan potongan ubi yang disiram kuah manis gula merah.

“Kerajaan pun sama seperti ini, ummi, saya sudah terbiasa.” Rumaisha hanya mengangguk kemudian mengambil bagiannya.

“Habiskan makanmu, setelah ini ummi ingin berbicara padamu.”

Untuk sejenak Pangeran menghentikan kunyahannya, menatap kaget pada ibu mertuanya yang sejak tadi tampil tanpa ekspresi—jika seperti ini mertuanya itu sangat mirip dengan istrinya.

***

Pangeran Kahfa masih menunggu Rumaisha bersuara, lima belas menit terbuang sia-sia. Rumaisha menghembuskan nafasnya pelan kemudian menatap menantunya yang masih menunggu dirinya berbicara.

“Ummi tau Shafaq belum kau sentuh, ummi paham semua hanya masalah waktu. Tapi..., jika benar kesucian Shafaq sudah terenggut dan dirimu bukan yang pertama. Ummi mohon jika benar adanya seperti itu, ummi cuman ingin kau jangan menyakitinya, jangan mengungkitnya, ummi tidak sanggup melihat putri kesayangannya seperti itu—“

“Ummi..., saya menikahi Shafaq bukan dengan niatan mencari kegadisannya, jika memang ini ujiannya, kita harus bisa sama-sama menguatkan Shafaq. Jangan khawatirkan hal itu, jika memang itu yang ummi khawatirkan,” jelas Pangeran—Ummi Rumaisha tengah mengusap ujung matanya yang berair.

“Cukup sekali kau jelaskan, ummi pegang kata-katamu,” tutup Ummi kemudian beranjak.

Sepeninggal Ummi Rumaisha, Pangeran Kahfa memandangi telapak tangannya—telapak tangan yang tak mampu melindungi istrinya sendiri. Tanpa sadar ia mulai memikirkan kemungkinan kedepannya; Shafaq yang truma, Shafaq yang akan semakin merendah bahkan mungkin merasa dirinya kotor. Pangeran Kahfa tidak ingin kehilangan Shafaq yang dingin.

Kali ini egonya benar-benar tersentil, miliknya disentuh orang lain bahkan sebelum dirinya sempat menyentuhnya.

Siang ini ia berencana ke istana untuk memanggil Fatonah untuk mengobati punggung Shafaq yang belum dijahit.

Diperjalanannya, Pangeran Kahfa seolah menunggang kuda sembari menerbangkan masalahnya, kudanya ia pacu cepat seolah tiap-tiap kesedihannya ia biarkan terbang terbawa angin—terlewati—kemudian hilang di udara.

Kerajaan RabbaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang