[2] PERJANJIAN

1.4K 130 12
                                    

Pangeran Kahfa mengamati wajah ayahnya yang sedang tersenyum pada adiknya. Perasaannya lega karena ayahnya kembali pulih. Tak selang berapa lama Kahfi datang dan menarik Kahfa untuk sedikit menjauh dari keberadaan Raja Sulaiman dan Putri Fatonah. Satu pukulan tepat di pipi kiri Pangeran Kahfa, Kahfa hanya meringis sambil tersenyum getir.

“Seharusnya tahta itu sudah jatuh ke tanganku atau kau. Tapi kini Raja Sulaiman telah pulih,” ucapnya dalam karna di penuhi kabut emosi.

“Istighfar, saudaraku. Jangan terperdaya oleh kenikmatan dunia. Ayah adalah orangtua kita, seharusnya kau senang karna ayah kembali pulih. Bukankah peperangan tinggal beberapa bulan lagi? Jadi beliau dapat memimpin perang dan kau panglima perang terhebat di Rabbani,” jawab Pangeran Kahfa tenang dan lembut membuat emosi Kahfi mulai menyusut.

“Kahfa, jangan karena aku dan kau bukan satu ibu maka kau dibedakan atasku. Sungguh, aku tak rela jika tahta itu jatuh di tanganmu.” Pangeran Kahfa menghela nafas pelan berusaha tetap tenang.

“Aku harap begitu, aku hanya ingin menjadi saudaramu bukan menjadi Raja, jelas?” tutur Kahfa dengan nada yang datar tanpa penekanan.

Kahfi menjauh dan mulai mejalani aktivitasnya yaitu memanah. Kahfa menunduk setelah kepergian Kahfi, yang berputar dipikarannya adalah perintah ia harus memimpin Rabbani setelah wafatnya Raja Sulaiman, itu adalah wasiat mendiang kakeknya. Garis pewarisan tahta sudah tertulis dan setelah Kahfa wafat maka yang mewarisi adalah anaknya. Hampir seluruh kepemimpinan di Kerajaan Rabbani akan jatuh ke tangannya, termasuk sistem pemberdayaan alam.

***

Shafaq duduk di atas kuda di daerah bersalju, tempat yang selalu membuatnya nyaman dengan udara dingin menyeruak pada pori-porinya. Cadarnya ia lepas dan membiarkan wajahnya menengadah langsung menyambut butiran-butiran salju yang turun dari langit. Wajahnya nyaris tak terdapat senyum barang sedetikpun, hanya wajah datar tanpa ekspresi.

“Pangeran Kahfa?” lirihnya seolah pangeran Kahfa ada di hadapannya.

Saat sibuk mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, matanya menangkap sebuah kulit hewan sapi yang menempel pada salah satu pohon pinus. Kulit sapi tersebut tertulis dengan tinta dan berupa pengumuman. Tanpa pikir panjang Shafaq segera membacanya,

“Perang? Hafiz? Ini yang ku tunggu,” ucapnya datar.

Shafaq segera menunggang kudanya menuju tempat yang tertera di pengumuman tersebut, setelah memakai kembali cadarnya. Saat telah tiba di tempat tujuannya, lagi-lagi ia melihat pangeran Kahfa yang sedang memukul besi dan memanaskan besi untuk di jadikan pedang. Ragu-ragu Shafaq mendekat.

“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memandang lurus ke depan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Kahfa sambil berusaha mengingat perempuan di ambang pintu.

“Kau?” lirih pangeran Kahfa.

“Saya ingin ikut dalam pasukan perang.” Pangeran Kahfa terkejut mendengar pernyataan Shafaq pasalnya ini kali pertama seorang wanita datang kepadanya dan meminta untuk bergabung ke pasukan perang.

“Apa alasannya?”

“Saya  ingin berjihad, dan saya sudah memenuhi persyaratannya.” Kahfa semakin heran dengan perempuan yang masih berada di ambang pintu.

Kerajaan RabbaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang