Terkadang rasa kesepian itu dibutuhkan untuk mengajari kita menghargai indahnya kebersamaan
__Kata Mutiara Islam__***
Pangeran Kahfi memacunya kudanya kencang hingga membuat beberapa dedaunan kering ikut terbang setelah dilaluinya. Pangeran memelankan kudanya saat bertemu dengan air terjun perbatasan. Untuk ke Thabrani ia harus menembus air terjun itu. Ia segera menarik tali kekang dan mulai mendaki bebatuan dengan kudanya. Tubuhnya basah saat menembus air terjun yang nyaris membuatnya terjatuh tadi tapi untungnya ia dapat melaluinya.
Pangeran kembali memacu kudanya—segera menuju istana Thabbrani yang merupakan istana paling megah di antara kerajaan lainnya.
Terlalu cepat memacu kudanya, membuat Pangeran tidak memperhatikan undakan kayu, kuda itu berontak dan Pangeran terpental cukup jauh. Pangeran Kahfi meraba keningnya yang mengeluarkan darah, setelah ingat tujuannya ke sini untuk membebaskan sang istri, ia kembali bangkit dan menenangkan kuda. Kuda itu lemah, tidak seperti kudanya. Dan juga kuda itu belum jinak terhadapnya.
“T—tu—an.”
Pangeran menghentikan aktivitasnya dari mengusap punggung kuda. Kepala Pangeran menoleh ke kanan dan ke kiri—mencari sumber suara terbata itu—Pangeran menggeleng pelan kemudian mulai menunggangi kudanya.
“Tuan—Pangeran Kahfi.”
Suara itu semakin jelas—kali ini lebih keras dan jelas.
Pangeran Kahfi turun dari kudanya—mengikat kuda pada batang pohon—melangkah menuju sungai yang terletak tak jauh dari situ.
Selangkah.
Dua langkah.
Hingga langkah kelima.
Tampaklah Malka yang tengah dipasung—sama seperti dulu—kali ini tubuhnya didudukkan di tengah aliran sungai yang deras—ditimpa bongkahan batu besar pada pahanya. Wajahnya sudah luka dan lecet dimana-mana, kerudung wanita itu terlepas, sebagian rambutnya menutupi wajah.
Pangeran Kahfi melepas sepatunya dan melipat celananya hingga lutut—dangkal tapi aliran sungai ini deras. Malka sudah menatap ke arahnya dengan mata berkaca-kaca—tangannya juga ikut terikat.
Pangeran Kahfi membungkuk, mengangkat bongkahan batu besar itu tanpa sepatah katapun. Kemudian berlanjut melepas ikatan tangannya, terakhir menghancurkan gembok pasung dengan batu. Setelah semuanya terlepas—Pangeran menatap Malka yang tertunduk sambil meringis pelan—darah jejak pasungan itu larut dalam aliran sungai menimbulkan rasa perih.
Malka memekik pelan saat tubuhnya sudah melayang—Pangeran Kahfi mengangkatnya—masih dengan wajah dinginnya.
“Seandainya kau tau niat awal semua ini, mungkin kau akan lebih dingin dari ini,” batin Malka merasa bersalah.
Lagi. Masih tak bersuara, Pangeran Kahfi melepas jubahnya, memberikan kehangatan pada tubuh menggigil Malka.
Kreeeek.
Pangeran Kahfi merobek bagian bawah bajunya, mengikatnya pada kedua lingkar kaki Malka yang terluka kemudian menatap Malka dengan sorot tajam.
“Terima kasih, Tuan, lagi-lagi sudah menyelamatkan saya,” ucapnya kemudian menangis pelan, tangis yang penuh penyesalan—takut—juga penghianatan.
Pangeran Kahfi membenarkan jubahnya di tubuh Malka, menyematkannya pada kepalanya, membentuk kerudung.
“Berapa lama kau direndam seperti tadi?” tanya Pangeran Kahfi pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."