Kalau lupa alurnya baca bab sebelumnya ya. Ada berita baik di akhir cerita. Selamat membaca dan berpuasa😄"Tidak ada yang ingin menderita, termasuk aku."
__Shafaq yang memilih keputusan__
***“Thabrani meminta pertemuan,” kata Rendra membuka diskusi kali ini. Semua wajah terlihat tegang sebuah tanah dipertahankan dan direbutkan memang bukan perkara yang mudah.
“Yang menjadi pembicara adalah Syaid dan kita berjaga pasukan di perbatasan dekat istana Thabrani, berjaga kalau-kalau ada serangan dadakan. Dan sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa kelahiran anak pertama saya dengan putri Fatonah tinggal menghitung hari, bisa dibilang ini adalah peluang dan tantangan. Thabrani bisa saja memanfaatkan situasi dan kita harus perketat keamanan istana.”
Diskusi berlalu dengan percakapan alot dan rumit hingga ditetapkannya keputusan oleh Sultan Sulaiman jika besok akan mengirim Syaid sebagai pembicara.
Pangeran Kahfa melangkah keluar dan melewati koridor-koridor menuju kamarnya di istana. Saat membuka pintu, wajah cantik itu menyambutnya dengan senyum yang demi apapun terlihat ceria dan lucu karena gigi putihnya terlihat.
“Tebak, apa yang kutemukan?” Pangeran Kahfa mengangkat bahunya, sedikit menaruh curiga pada gerak-gerik Shafaq yang menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Apa?” tanya Pangeran Kahfa.
Shafaq menyerahkan kain hitam yang ia sembunyikan dari balik punggungnya, “cadarku,” kata Shafaq dengan pipi merona.
“Ah..., kukira apa. Kupikir aku akan dapat berita kehamilanmu...mungkin. Agak iri rasanya melihat Rendra akan memiliki anak,” ucap Pangeran Kahfa sedikit tertawa ringan.
Tangan Shafaq yang masih menggantung di udara luruh seketika. Entah mengapa dirinya mendadak tak percaya diri menampilkan muka. Sudah berapa lama mereka menikah dan belum juga ia hamil.
“Aku sudah menemui Syaid. Aku akan ikut dia pulang ke rumah ummi,” kata Shafaq dingin, tanpa melihat Pangeran Kahfa yang kini duduk di bibir ranjang.
“Ya, hari ini pengobatanmu. Nanti malam aku akan menyusul.” Pangeran Kahfa bangkit dan mendekat pada Shafaq yang tengah berkemas. Dipeluknya Shafaq dari belakang, membuat wanita itu menegang seketika, gerakannya yang tadi menyusun pakaian terhenti.
Shafaq melirik tangan Pangeran Kahfa yang melingkar erat di perutnya, kepala lelaki itu juga bertumpu pada pundaknya, “mohon maaf lahir dan batin, ya Shafaq. Bukan maksudku menyinggung tentang kehamilan atau sejenisnya. Aku hanya..., baiklah aku minta maaf,” ucap Pangeran Kahfa lirih.
“Ya..., aku mengerti. Kamu jangan berharap lebih padaku, aku ini hanya wanita penyakitan,” kata Shafaq terdengar putus asa.
“Shaf...,” lirih Pangeran Kahfa semakin mempererat pelukannya.
“Jangan katakan apapun lagi. Ayo kuantar pada Syaid,” lanjutnya. Percakapan ini jika dilanjutkan akan membuat mereka bertengkar, jadi salahkan mulut Pangeran Kahfa yang tidak disaring tadi.
***
Rencana awal, Shafaq akan menginap di rumah ummi dan membiarkan Pangeran Kahfa kembali ke kerajaan dan rencana itu harus urung saat tabib tadi mengatakan bahwa Shafaq tengah mengandung. Seharusnya, pasangan itu senang karena buah hati yang dinantikan akan hadir di tengah-tengah mereka, tapi ternyata tidak. Semua gamang. Bahkan keduanya masih setia bungkam.
Pangeran Kahfa mendesah pelan, memandang Shafaq yang tengah tertunduk lesu, “gugurkan, Shaf!” Shafaq tak menyahut, dirinya masih setia membisu dan hatinya remuk redam saat mendengar kata-kata Pangeran Kahfa.
“Persetan dengan pengobatan, Kahfa! Aku ingin melahirkan dia!” Shafaq berujar dingin.
“Kau pertahankan bayi itu, kau kehilanganku, Shaf. Aku tidak akan bisa mencintai bayi yang sudah membunuh istriku!” Kahfa menatap Shafaq nanar, saat ia melihat wanita itu mulai menangis Kahfa segera mengalihkan wajahnya. Kahfa mengusap kasar wajahnya.
“Bayi yang kau anggap pembunuh itu anakmu, darah dagingmu, Kahfa. Kahfa... percaya aku, yang punya hidup dan mati ini bukan kamu, bukan tabib, tapi Tuhan. Allah, Kahfa. Dia pasti punya sesuatu hingga janin ini ada. Aku tahu ketakutanmu, tapi tolong, jangan buat aku semakin takut,” kata Shafaq melembut. Shafaq pikir membalas sama kerasnya Pangeran Kahfa saat ini adalah bukan saat yang tepat. Shafaq meraih jemari Pangeran Kahfa, menggenggamnya lembut. Pangeran Kahfa mulai melunak, menghadap shafaq kemudian membalas genggaman tangan istri cantiknya. Bibir Shafaq tersenyum menatap Pangeran Kahfa yang juga tengah menatapnya.
“Pangeran Kahfa, ksatriaku, coba sapa dia,” suruh Shafaq menarik tangan Pangeran Kahfa untuk menyentuh perutnya. Tangan Pangeran Kahfa kaku saat berada di perut Shafaq, Pangeran Kahfa menghela nafasnya pelan kemudian berkata, “aku tidak bisa.”
Rahang Shafaq mengeras, tatapannya menusuk Pangeran Kahfa yang tengah meraup kasar rambutnya. Kepalan tangan Shafaq mengeras saat netranya menangkap Pangeran Kahfa yang berjalan menuju pintu. Shafaq menglangkah lebar menyusul Pangeran Kahfa kemudian menarik pundak Pangeran Kahfa, “aku ingin membunuhmu,” desis Shafaq terdengar dingin.
Pangeran Kahfa masih mengumpulkan kesadarannya saat Shafaq mulai mengambil pisau buah di meja sebelahnya, seperti kesetanan Shafaq menerjang Pangeran Kahfa dan dengan gesit Pangeran Kahfa menghindari serangan Shafaq. Shafaq semakin frustasi saat Pangeran Kahfa menjatuhkan pisau dalam genggamannya.
“Istighfar, Shafaq!” Teriak Pangeran Kahfa mengguncang bahu Shafaq. Shafaq menyentaknya, menampar lelaki di depannya, nafasnya memburu sebab pergelutan tadi. “Kau pikir siapa yang ingin punya kutukan? Siapa yang ingin penyakitan? Tidak ada!”
“Keputusanku sudah bulat, Shaf. Aku akan melanjutkan pengobatanmu,” tegas Pangeran Kahfa tak ingin dibantah.
***
Salam
DziOke, utk menebus waktu hiatusku. Mari kita update kerajaan rabbani tiap hari utk menemani ramadhan kalian. Ilopeyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."