Orang jahat tercipta dari orang baik yang tersakiti
__Lupa ngutip dimana__***
Gelap. Dingin. Sunyi.Tiga keadaan yang sangat sempurna jika dijadikan satu dan itulah yang dirasakan Malka. Bodohnya, ia tidak membawa pematik untuk membuat api. Saat ini ia singgah di tepi sungai, untungnya bulan sedang berbaik hati untuk membagi sinarnya dengan sangat terang.
Malka kembali memandangi aliran sungai yang menampilkan cahaya bulan. Dagunya ia tumpukan pada lutut dan tangannya memeluk kakinya sendiri untuk menghalau dingin—selimut sudah ia berikan pada Pangeran Kahfi tadi.
Berteman dengan kesendirian membuatnya kembali memikirkan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Bagaimana pria itu menemukannya, menolongnya, bahkan kini menikahinya. Ia hanya janda miskin yang bertemu Pangeran berkuda coklat.
Saat itu, Pangeran Kahfi tengah mandi di sungai usai berlatih dengan pasukan Akbar. Pangeran mendengar suara tangis perempuan, awalnya ia mengira itu hanyalah pendengarannya saja, tapi lambat laun suara itu makin mengeras bahkan terdengar suara rintihan. Pangeran memberanikan diri mencari sumber suara itu.
Pangeran langsung menemukan Malka yang tengah dipasung di bawah pohon. Saat itu Malka tengah mengandung.
Malka memekik tertahan saat sebuah panah menusuk punggungnya—membuatnya tersadar dari lamunan nostalgianya. Tak lama dari itu, pandangannya menggelap. Rupanya itu bukan panah biasa tetapi sudah ada racun di dalamnya.
Beberapa jam setelahnya, Pangeran Kahfi datang. Di tepi sungai itu hanya tinggal perbekalan Malka dan anehnya Pangeran Kahfi menemukan anak panah yang masih dilumuri darah. Pangeran sangat mengenal bentuk ukiran pada anak panah itu—senjata Thabrani.
“Jadi, ingin bermain-main denganku?!” geramnya—mencengkram erat anak panah itu hingga patah.
***
“Shaf, bisakah kita membagi tugas? Aku di Rabbani dan kau di sini, menjaga daerah ini?” Pangeran menatap Shafaq penuh harap. Shafaq menampilkan ekspresi datar kemudian mengangguk tanpa mengatakan sepatah katapun.
“Saat ini, aku tidak bisa mempercayai orang sini untuk mengurus daerah ini. Aku tidak membuatmu menjadi pemimpin, tapi aku ingin kau mengawasi, sebagai istriku kau harus bisa mengurangi bebanku,” ucap Pangeran Kahfa.
“Iya, akan kulakukan. Tapi jika tentara Thabrani datang, jangan salahkan aku jika aku ikut ambil andil,” jawab Shafaq yang membuat Pangeran Kahfa menghela nafas pelan.
“Lakukan bila perlu, aku sudah menyiapkan pasukan untuk melindungi daerah sini. Selesai aku membangun rumah ini, aku berangkat.”
***
Tiga hari perjalanan menuju Kerajaan melalui jalur laut, kini Putra kedua itu disambut hangat oleh ibunya yang bahkan memeluknya sambil menangis pelan. Pangeran hanya menjawab seadanya saat Maryam menanyainya tentang Shafaq yang tidak ikut pulang ke Rabbani. Langkahnya langsung menuju ruangan sang ayah untuk menanyakan soal Kahfi dan Fatonah yang menikah bersamaan.
Dalam perjalananya, Pangeran mendapati Rendra baru saja keluar dari pintu kamar yang sangat dikenalinya—kamar adiknya—Putri Fatonah. Rendra langsung mendekat dan menyalami Pangeran. Dan Pangeran memilih tak banyak bicara, memilih langsung bergegas menuju ayahnya.
Saat membuka ruangan luas itu, Pangeran mendepati ayahnya tengah memandangi baju besi berukuran kecil—ia sangat ingat—itulah baju besi milik sang kakak saat usia tiga belas tahun. Pangeran sangat tahu jika sang ayah memang tidak bisa menunjukkan rasa kasih terhadap anak-anaknya secara gamblang. Terbukti, kepergian Pangeran Kahfi membuat orang nomor wahid di Rabbani itu bersedih. Mungkin kesalahan di masalalu yang membuatnya jauh dengan Pangeran Kahfi—anak pertamanya dari pernikahan pertama.
“Assalamu’akaikum, ayah.” Pangeran Kahfa mendekat ke arah sang ayah yang memandang terkejut ke arahnya. Sultan menjawab salamnya kemudian memeluk putranya penuh rindu.
“Bagaimana istrimu? Sudah adakah tanda cucu pertamaku akan lahir?” tanya sang ayah membuat Pangeran Kahfa tersenyum—ia jadi rindu Shafaq dan Shafa.
“Belum, ayah,” jawabnya jujur.
“Terimakasih sudah datang ke rumah,” kata Sultan kemudian mengajak Pangeran duduk lesehan di atas permadani yang indah.
“Kahfi—pergi.” Kalimat pertama yang keluar dari mulut ayahnya membuat hatinya tercubit. Pangeran tahu betul jika Pangeran Kahfi adalah orang sangat kompeten namun sayangnya terlalu berambisi menduduki tahta. Padahal menjadi Raja di Rabbani tidaklah sama seperti Kerajaan yang lainnya. Di Rabbani, Raja hanyalah manusia biasa sama seperti yang lainnya. Hanya saja tugasnya lebih berat.
Jangan bayangkan istana ini akan sangat megah dengan dayang yang banyak. Tidak. Jika dibandingkan dengan kerajaan lain, Rabbani adalah kerajaan yang paling miskin dengan penampilan. Padahal rakyatnya tenang damai. Tidak ada terbesit untuk memegahkan istana, ataupun menambah dayang layaknya kerajaan lainnya.
“Lalu, ayah percaya bahwa Kahfi berzina dengan perempuan itu dan menikahkannya? Apa ayah melihatnya sendiri?” Sultan Sulaiman menggeleng—pemimpin kerajaan Rabbani itu tampak rapuh—tidak seperti biasanya.
“Dia bahkan memiliki seorang putra bersama perempuan itu,” katanya, membuat mata Pangeran Kahfa membola. Tidak mungkin kakaknya seperti itu. Ia sangat tahu jika Pangeran Kahfi tidak pernah dekat dengan kaum hawa. Bahkan ketika menghadiri pertemuan antar kerajaan, saat ada Putri-Putri kerajaan lain yang sangat cantik saja ia terus menunduk.
“Dan ayah percaya? Kupikir, yang mengenal luar dalam Pangeran Kahfi adalah ayah,” timpal Pangeran Kahfa menatap sang ayah dengan penuh keraguan.
“Putranya di sini, dirawat oleh dayang.” Sultan kemudian memanggil Rendra untuk membawa Putra Malka ke hadapannya.
Sepanjang menunggu, Pangeran Kahfa tak henti-hentinya berpikir. Ia masih tidak mempercayai orang-orang yang menuduh Pangeran Kahfi berbuat seperti itu. Perhatian Pangeran Kahfa langsung terpusat pada anak laki-laki yang berusia dua tahunan yang tengah digendong oleh Rendra. Rendra menurunkan anak kecil itu yang langsung mempoutkan bibirnya—ingin menangis. Melihat orang-orang asing membuatnya merasa takut.
Satu tetes air mata Pangeran Kahfa luruh begitu saja melihat tatapan takut anak laki-laki itu. Hatinya terenyuh begitu saja. Tiba-tiba perasaannya campur aduk. Jelas bahwa dalam gurat wajah anak laki-laki itu sama sekali tidak ada jejak Pangeran Kahfi. Tapi, Pangeran Kahfa seolah mengerti maksud Pangeran Kahfi yang akan melindungi anak kecil itu. Pangeran yakin jika Pangeran Kahfi pasti punya alasan tertentu untuk melindunginya.
Pangeran melambaikan tangannya ke arah anak kecil itu yang mendongak menatap Rendra—seolah meminta perlindungan.
“Assalamu’alaikum, perkenalkan, aku pamanmu,” sapa Pangeran Kahfa mendekati anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengerjap dua kali sebelum akhirnya kembali menatap Rendra.
“Dia bukan anak Pangeran Kahfi, percaya padaku, ayah,” kata Pangeran Kahfa mantap.
“Maaf menyela, Sultan—“
“Panggil aku ayah, Rendra!”
“Baik, Ayah. Saya ingin mengabarkan bahwa ada kabar dari Thabbrani, Malka dijadikan tawanan.” Mendengar berita yang dibawakan Rendra sontak membuat Pangeran Kahfa langsung bangkit dari duduknya. Sangat pantang baginya, orang Rabbani ditawan kerajaan lain. Terlebih ini perempuan. Istri Pengeran Kerajaannya.
“Dia ditawan oleh Kerajaannya sendiri. Ini hanyalah taktik,” cetus Sultan Sulaiman kemudian berlalu.
***
Nah, full versionnya ya
Maaf kalau feelnya gak dapet
Makasih sudah baca
Cerita ini aku daftarkan ke wattys 2019
Jadi minta doa dan dukungannya ya
Kalian ajakin teman kalian baca cerita amatirku ini dan kasih vote banyak banyak
Salam
Dzi💕Mending update cepet atau lama sih?
Kalian bosen gak kalau notif cerita ini ada mulu? Jawab ya hehee
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Espiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."