“Sebuah bangsa akan kokoh, jika wanitanya kokoh”***
Baru beberapa menit Pangeran Kahfa mendarat di dermaga, hati Pangeran sudah miris melihat bagaimana kacaunya daerah sini. Saran Raja untuk mengalihkan perhatiannya ke ujung tanah Rabbani ini memang berhasil, semua perhatian sang Pangeran langsung tertuju pada para nelayan yang sedang mengumpulkan ikan-ikan hasil pencarian mereka dalam sebuah tong kayu.
Pangeran melangkah ke arah para nelayan tersebut sambil berkata, “Assalamu’alaikum warrahmatullah, paman, siapakah yang akan memborong ikan-ikan ini?”
“Ketua suku kami akan memborongnya, Tuan. Maaf, siapakah Tuan? Apakah seorang saudagar kaya? Hingga datang dengan kapal besar?” jawab dan tanya nelayan itu dengan beruntun membuat Pangeran berpikir sejenak, jeda tiga detik, Pangeran menoleh pada Rendra yang sibuk bercengkrama dengan anak-anak kecil di bibir pantai.
“Saya rombongan istana Rabbani,” jawabnya kemudian. Jika dilihat, cara pangeran ini tidak sepenuhnya berbohong, bukankah Pangeran adalah bagian istana Rabbani? Entah mengapa Pangeran tidak ingin membongkar identitasnya sebagai Pangeran Kerajaan.
Si nelayan tadi melepas semua kegiatannya dan membersihkan telapak tangannya kemudian menjabat tangan Pangeran Kahfa. Pangeran Kahfa tersenyum haru, orang di sini tidak buruk untuk masalah agama.
Sebagaimana disunahkan atas setiap orang untuk berjabatan tangan dengan saudaranya, “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani)
Pangeran Kahfa kemudian tersenyum sambil melepas tangannya terlebih dahulu.
Sahabat Anas tadhiallahu ‘anhu menyebutkan, “Apabila diterima oleh seseorang berjabat tangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)“Saya permisi dulu, paman. Saya akan melanjutkan perjalanan,” pamit Pangeran Kahfa.
***
“Yakin Pangeran akan memasuki tempat ini?” tanya Rendra meyakinkan. Setelah melanjutkan perjalanan. Kahfa dan Rendra segera menuju ke kediaman ketua suku atau pimpinan di tanah ini.
Rendra berkali-kali meneguk salivanya sambil terus beristighfar saat salah satu pengawal mengantarnya bersama Kahfa menuju tempat yang justru penuh dengan Khamr dan wanita hiburan.
“Jujur, aku merasa direndahkan. Tapi kita tidak bisa diam melihat kemaksiatan, sebisa mungkin kita memberikan mereka pencerahan. Paling tidak kita temui ketua sukunya. Aku saja tidak percaya Ayah akan mengirimku ke tempat ini,” jawab Kahfa sambil berjalan dengan kapala terangkat. Sedangkan Rendra hanya menurut kemudian mengikuti kemana perginya pangeran Kahfa.
Sampainya di ruangan khusus untuk pemimpin suku tersebut, Pangeran dan Rendra harus menunggu beberapa saat untuk menemuinya. Tak lama dua orang wanita keluar dari ruangan dengan hanya memakai jubah yang biasanya untuk mandi. Beberapa saat Pangeran Kahfa beristighfar sedangkan Rendra memilih membalikkan badan sambil tertunduk dalam.
“Silahkan, Tuan. Kepala suku telah menunggu,” kata salah satu wanita itu. Tanpa babibu Pangeran Kahfa segera membuka pintu ruangan itu sambil mengucapkan salam. Bukannya menjawab salam Pangeran dan Rendra, si kepala suku justru hanya mengangguk sambil mempersilahkan keduanya untuk duduk di sebuah kursi yang terlihat megah dengan taburan emas murni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."