__Kesabaran itu tidak ada batasnya, hanya manusia itu sendiri yang membatasinya__
***
Kau tau, kamu adalah amanah terbesar dalam hidupku. Karena kamu yang telah dipilih Allah untuk diriku menjadi orang yang amanah. Bantu aku, jangan biarkan aku gagal untuk kedua kalinya dalam menjagamu. Dan lagi..., bagaimana bisa aku mencari ratu bidadari yang lain, jika denganmu saja sudah cukup," tutup Pangeran Kahfa.
"Allah bilang mencintai itu sewajarnya, pesanku jangan terlalu mencintaiku, jika aku tidak dapat membalasnya maka aku akan mendepat bencimu," ucap Shafaq dalam dekapan Pangeran Kahfa.
"Allah menjanjikan cinta dalam sebuah pernikahan. Tapi Allah tidak menjanjikan pernikahan dalam sebuah cinta. Jadi, untuk apa aku takut jika Allah saja sudah berkata kalau kau akan mencintaiku," balas Pangeran Kahfa.
"Ummi bilang, hatiku akan membeku, tepat saat waktu itu tiba aku hanyalah daging yang bernama dan tidak lagi berperasaan."
"Maka, seluruh orang pintar di negeri ini akan kupanggil untuk mengobatimu."
"Dan saat itu juga aku sudah tiada karena aku tidak memiliki hati yang berfungsi."
"Allah yang tahu, dan aku tidak berani menebaknya. Untuk saat ini biarkan aku mencintaimu dan belajarlah mencintaiku."
"Hatiku bilang bahwa saat ini aku mulai jatuh cinta padamu karena iman dan kelembutanmu."
***
"Hatiku bilang bahwa saat ini aku mulai jatuh cinta padamu karena iman dan kelembutanmu."
Pangeran Kahfa masih mencerna maksud pernyataan yang Shafaq katakan tadi. Pangeran Kahfa meregangkan pelukannya, kepalanya sedikit menunduk untuk melihat wajah Shafaq yang memang lebih pendek darinya. Rupanya gadis itu belum menyadari ucapannya barusan, ekspresinya masih sama—sendu—dan menunduk.
"Ulangi...ulangi ucapanmu," desis Pangeran Kahfa setengah berbisik. Shafaq yang mendengarnya segera mendongak, melihat wajah Pangeran Kahfa yang sangat dekat dengan wajahnya.
Shafaq yang paham arah pembicaraan suaminya segera bersiap kembali memeluk tubuh tegap Pangeran Kahfa—bermaksud menyembunyikan rasa malunya—tapi Pangeran Kahfa justru menolaknya dengan sedikit mundur. Shafaq yang melihat penolakan itu hatinya merasa sakit. Shafaq cepat-cepat membelakangi Pangeran Kahfa kemudian menutup jendela kamar mereka.
"Ulangi ucapanmu, baru aku akan memelukmu," ucap Pangeran Kahfa bergurau.
"Tidak perlu!" sarkas Shafaq setengah berteriak.
Rupanya Pangeran Kahfa lupa bahwa gadis es ini tidak memiliki selera humor seperti dirinya. Mendengar nada suara Shafaq yang kesal membuat Pangeran Kahfa menghembuskan nafasnya pelan, "Aku tidak bermaksud menolakmu," kata Pangeran Kahfa.
"Siapa yang peduli!"
"Shaf, aku menunggumu untuk mengucapkan kalimat itu selama ini. Sekarang, apa diriku masih belum berhak mendengarnya?" Pangeran menyatakan setiap kalimatnya dengan nada yang lembut, takut membuat Shafaq merasa bersalah.
"Aku jatuh cinta padamu," kata Shafaq kelewat datar—tanpa ekspresi dan memasang wajah arogannya.
"Dasar penyihir!" sahut Pangeran Kahfa.
Shafaq yang tadinya berdiri membelakangi Pangeran Kahfa segera berbalik, ditatapnya wajah Pangeran Kahfa yang tanpa ekspresi itu dengan lekat-lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerajaan Rabbani
Spiritual"Aku bukan pangeran Rabbani, bahkan ayahku adalah penghianat kerajaan. Ibuku ibu suri yang kejam. Aku berada dalam hidup yang penuh kekacauan. Jadi, terimakasih telah memilihku, Shafaq."