29 - Razia

5.7K 195 0
                                    

Pertarungan itu semakin sengit. Semua orang sudah pasrah. Hanya Erfan dan Rahmat saja yang masih kekeh.

"Semua gak akan kayak gini kalo lo gak mulai." teriak Rahmat mengangkat kerah seragam Erfan.

Erfan melepas paksa dan keadaan itu berbalik. Kini ia yang mengangkat kerah lawannya itu.

"Gue cuma mau lindungin Dania dari orang brengsek kayak lo."

Rahmat berdiri tegak. Tangan Erfan mudah saja ia lepaskan.

"So what? Dania nya aja gak ngerasa terancam kok. Toh dia keliatan seneng aja kalo jalan sama gue. Tapi emang iya sih dia menggoda." Rahmat tersenyum nihil. Lantas Erfan memukulnya lagi kemudian hendak mengambil tuas mobil yang entah dari mana asalnya.

Namun ia berhenti ditengah serangan itu. Ia tak mau jika perkelahian ini berakhir di pengadilan.

Erfan menghela napas panjang.

"Jadi intinya lo deketin Dania karena apa?"

"Gue suka sama dia. Tapi ada lo yang jadi pembatas diantara gue sama dia."

"Lo niat serius atau cuma main-main?"

"Serius. Tapi kayaknya lo juga serius pengen jadi musuh sejati gue."

Dania yang sedari tadi menguping dibalik tembok pun menganga. Abang supir yang keras tak mengizinkannya untuk keluar pun kalah dengan kebawelan mulutnya yang menjadi senjata. Kini ia menangis. Mengingat perkataan Lilis yang ternyata sepenuhnya benar. Erfan. Dia terluka karena dia. Dia sendiri penyebabnya.

Hari ini berlalu dengan luka dan tumpahan darah yang berserakan. Serta air mata Dania yang asin itu. Wkwk. Sorry maksud author yang suci itu.

Tringgggg...

Hentaman bel masuk itu memang kadang menganggu. Bagaimana tidak. Setiap kelas dipasang speaker dengan volume yang sangat tinggi. Anak-anak pun sering protes. Tapi semua itu tak dapat mengubah kebijakan kepala sekolah yang keras kepala itu.

Erfan masuk dengan luka yang semakin parah. Plester bahkan perban sekalipun ia pakai di tangan dan kepalanya.

Toni dan Bontot sigap menghampiri. Begitupun Lilis.

"Lo kenapa jadi makin parah gini?" tanya Bontot khawatir

"Lo berantem sama siapa sih?"

"Lo udah ke rumah sakit kan?"

Begitupun kekhawatiran Lilis dan Toni. Erfan menggeleng, ia hanya membalas semua itu dengan senyuman tipis.

Erfan tercyduk memegang sebuah gantungan hp berinisial D digenggamannya. Lilis yang memperhatikan sedari tadi pun mulai berpikir keras.

"Gak salah lagi ini semua karena Dania!"

Lilis berlari keluar kelas. Padahal ini baru saja bel masuk.

Didapatinya Dania yang sedang ditegur oleh guru di depan pintu kelasnya. Lilis berhenti dan menguping.

"Dania rambut kamu sudah mulai panjang. Pirangnya semakin jelas. Besok ibu gak mau tau rambut kamu harus udah gelap."

Dania terus saja menunduk dan tak henti mengucapkan "maaf" dan "iya".

"Gue kira dia kenapa." bisik Lilis.

•••

Diam [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang