03. Wajah Vampir

6.9K 235 1
                                    

"Bram. Bukan Tugiyo," suaranya berat dan datar.
.
"A-apa?!" saking terkejutnya aku sampai terbata.
.
Sepertinya aku memang salah tempat. Dia bukan Pak Tugiyo, customer biro kami. Lalu di mana dia? Bukankah seharusnya ini rumahnya? Kalau pria di depanku ini anak atau pun cucunya, kenapa juga harus panggil pembantu segala?  Tinggal bawa saja tua renta itu ke panti jompo. Apakah aku ini kejam? Tua renta itu sama sekali bukan orang tuaku.
.
"Masuk. Akan saya jelaskan semuanya."
.
"Ta-tapi, Pak?" Aku bermaksud memastikan siapa sebenarnya pria yang mengaku bernama Bram itu.
.
Tapi dia tak peduli, hanya melirikku sekilas sebelum berbalik dan pergi. Mau tidak mau aku berjalan mengikutinya.
.
"Tugasmu hanya ada dua. Menyiapkan makanan dan membersihkan rumah," cuma itu yang dia katakan begitu aku berdiri tepat di  samping sofa tunggal yang dia duduki.
.
Kupikir dia akan melanjutkan kata-katanya, tapi beberapa lama aku menunggu, dia justru mengabaikanku. Tatapannya hanya fokus pada sebuah dokumen yang dibacanya.
.
Aku jadi dibuat bingung. Apa benar hanya itu yang dia katakan? Tidak ada perkenalankah, atau alasan mengapa bukan Pak Tugiyo yang menemuiku? Huh, yang benar saja, tidak perlu dijelaskan pun aku juga tahu tentang itu, sudah terpampang nyata dalam berkas yang diberikan oleh biro. Maksudku, setidaknya dia menjelaskan lebih detail tentang pekerjaanku di sini. Selera masakan yang disukainya, atau apa-apa saja yang tidak boleh kulakukan.
.
"Apa lagi?"
.
Aku sebal sekali, dia berucap tanpa menatapku sama sekali, hanya duduk santai menyandar ke belakang sofa sambil membaca entah dokumen apa, ditemani cahaya temaram dari stand lamp di sisi sofa.
.
Cih! Dia boleh saja tampan, tapi kalau sikapnya begini, aku tidak sudi menjadi fans-nya! Apalagi ekspresi dinginnya itu, menyebalkan sekali membuatku ingin menampar wajahnya sekeras mungkin! Cahaya ruangan yang remang-remang membuat wajah vampirnya semakin kentara.
.
"Pergi," nada suaranya masih sama datarnya. Dia mengibaskan tangan beberapa kali, memberi isyarat menyuruhku pergi.
.
Pergi? Memang aku harus pergi ke mana? Bukannya aku dikontrak selama dua tahun di sini? Apa aku harus bolak-balik dari rumah ke sini?
.
Hah! Yang benar saja? Aku tidak mau menghabiskan 4% gajiku hanya untuk pulang-pergi ke luar kota.
.
"Tapi, Pak, saya-"
.
"Saya sudah kasih papan nama di pintu kamar kamu."
.
Huh, menyebalkan! Sebenarnya ke mana perginya Pak Tugiyo itu? Siapa pria ini? Kenapa jadi dia yang nyuruh-nyuruh?

***

Semoga gak banyak typonya :)

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang