20. Gosip Baru

4.6K 169 4
                                    

REPOST

Plak!

Ketika aku berhasil meloloskan diri dari pelukan sepihak Pak Bram, aku langsung berbalik menghadap ke arahnya, melihat peluang dan langsung menamparnya begitu saja.

Logikaku melambung jauh ke mana-mana memikirkan pekerjaan baru yang ditawarkan pria tidak tahu malu ini. Aku berusaha terlihat setenang mungkin meski sebenarnya jantungku terus berdegup gila tidak karuan.

Wajah rupawan itu sempurna berpaling karena satu tamparan keras dariku. Pipinya pun memerah, tapi dia sama sekali tidak memeganginya. Matanya seketika berubah sendu, terlihat jelas dia sangat-sangat kecewa. Tidak, mungkin lebih tepatnya tidak percaya pada apa yang baru saja kulakukan padanya.

"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Saya bersedia menunggu lebih lama," ucapnya dengan kepala sedikit tertunduk. Tampaknya dia masih enggan menatapku lagi.

Aku sedikit terkejut, nada suara yang biasanya datar namun tegas itu seolah lenyap malam ini. Entah kenapa suaranya jadi lemah begitu.

Oh, ya? Benarkah dia bersedia menunggu demi diriku?

Hello? Aku tidak sebodoh itu keles! Sudah pasti dia mengejarku, berusaha mendapatkan diriku, apalagi kalau bukan untuk pelariannya. Terlebih lagi, aku sadar, aku punya kemiripan dengan calon istrinya yang sudah meninggal itu.

"Maaf, saya tidak bermaksud menampar Bapak tadi." Aku menunjuk telapak tangan kananku, memperlihatkan padanya bercak darah plus mayat nyamuk yang sudah terkapar di sana. "Ada nyamuk di pipi Bapak."

Dia melirik tanganku sekilas sebelum berpaling lagi. Ekspresinya begitu dingin membuatku jadi agak takut padanya. "Tamparanmu terlalu keras untuk membunuh seekor nyamuk. Bilang saja kalau kamu marah dan ingin menolak saya."

Baguslah kalau tahu! Memang itu yang kurasakan sebenarnya!

Beruntung karena ada nyamuk di pipinya tadi, jadi aku punya alasan untuk menampar wajahnya sekeras mungkin. Meski perasaan kesal terus menyelimuti, aku memutuskan tetap diam dan tidak menanggapi perkataannya.

Ya, memang tidak bisa dipungkiri aku marah. Bagaimana tidak? Yang benar saja, memang wanita mana yang mau percaya begitu saja pada pinangan seorang pria yang baru saja dikenalnya selama tiga hari? Sayangnya aku bukan wanita gampangan yang mudah tergiur dengan mahar yang mahal.

Meski begitu, bagaimana pun juga aku tetaplah seorang wanita lemah yang mudah terperdaya. Aku memang sangat terbawa perasaan ketika mendengar lamaran yang tak biasa itu dari Pak Bram. Beruntung karena logika jernihku masih terkoneksi dengan baik. Jadi, meski hatiku langsung berkata 'ya', tanganku tetap bergerak melayangkan tamparan demi mengungkapkan kekesalan.

"Saya berbuat begitu ada tujuannya, Pak, bukan semata-mata karena emosi sesaat. Bapak lihat sendiri, kan, buktinya? Benar-benar ada nyamuk di tangan saya. Dan saya berbuat begitu bukan berarti saya menolak Bapak."

Pak Bram terus saja diam mematung dan memalingkan pandangan.

"Baiklah, kalau memang Bapak tidak terima dengan sikap saya. Saya bisa mengerti, saya akan segera angkat kaki dari sini. Sebelumnya, saya juga sangat berterima kasih karena Bapak sudah menawarkan pekerjaan baru itu pada saya."

Aku tidak mau ambil pusing, bertindak bodoh dan menerima lamarannya begitu saja.

Ya sudahlah, mungkin ini memang bukan rezekiku. Mungkin lebih baik aku pergi dan melepaskan pekerjaan ini. Aku tidak mau terjebak dalam pelarian cinta Pak Bram dan aku tidak mau terlibat cinta segitiga dengan arwah Santi.

Aku sudah berbalik dan bersiap melangkah, namun cengkeraman kuat di pergelangan tangan menghalangi pergerakanku. Aku melirik tanganku sekilas, rupanya pria ini masih belum menyerah juga. Aku jadi penasaran, aku ingin tahu seberapa besar perjuangannya demi mendapatkan diriku.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang