21. Sebuah Syarat

4.3K 183 8
                                    

BAGIAN I

"Selamat, ya, atas pernikahan Bapak."

Aku sengaja ingin menyindir di balik nada suaraku yang semringah. Aku ingin tahu akan seperti apa responsnya. Entah apakah dia peka atau tidak nantinya. Hah! Memangnya aku wanita gampangan penggila harta, apa? Pokoknya aku tidak mau dimadu!

Seperti biasa, aku berdiri di sisi meja menemani Pak Bram makan. Rupanya dia benar-benar pulang sore ini. Untung saja Aditya mau mengantarku pulang sehingga aku sampai di apartemen ini tepat waktu, bahkan aku sempat menyelesaikan menata makanan dan minuman di meja makan sebelum Pak Bram sampai.

Aktivitas makan pria itu seketika terhenti. Dia mendongakkan kepala menatapku lalu menyeringai lebar membuatku bingung. "Apaan, sih?"

"Dan ... selamat, karena sebentar lagi Bapak akan jadi seorang ayah," aku tetap melanjutkannya meski sedikit ragu.

"Maksud kamu apa bicara begitu?"

"Loh, memangnya kenapa?" Aku jadi semakin tidak mengerti dengan sorot geli yang dia tujukan padaku. Apa aku salah bicara? "Apa saya sudah terlambat mengatakannya? Saya memang baru dengar kabarnya siang ini."

Pak Bram justru tertawa keras, sampai terbahak pula.

Ada apa, sih, sebenarnya?

Seharusnya tawa merdu itu adalah tawa yang kurindukan. Satu minggu lebih aku bekerja di sini, tapi tawa seperti itu baru kali ini kudengar darinya. Ya, seharusnya aku senang, tapi entah kenapa hatiku sedang tidak ingin berbunga sekarang. Memikirkan fakta bahwa Pak Bram sudah menikah dan sebentar lagi dia akan memiliki seorang anak membuatku panas-dingin. Aku marah sekali pada diriku sendiri. Ada apa denganku? Kenapa aku merasa tidak suka mendengar dua fakta itu? Ini sungguh menyakitkan.

Kenapa bisa begitu? Apa ini hanya sekadar naluri seorang wanita yang tidak ingin dimadu? Atau ... aku memang cemburu? Perasaan ini membuatku tidak bisa ikut tertawa bersamanya.

"Rany ... Rany, kamu ini habis menggosip dari mana sampai menuduh saya yang tidak-tidak begitu?" ucapnya sambil berusaha menahan tawa.

Pancaran sinar kegelian itu masih jelas kentara di wajah Pak Bram. Aku jadi mulai berpikir, apa berita yang kudengar tadi siang itu benar adanya?

Sial! Aku malah jadi leluconnya saja sekarang! Ampun, deh, padahal aku sudah terlanjur menganggapnya serius dan memakinya sebagai pria berengsek.

Awas saja kalau kamu berbohong, Aditya! Sumpah, bikin malu saja kalau berita ini hanya hoax belaka!

"Saya dengar langsung dari teman kerja Bapak!" Tentu saja aku tak mau kalah, karena aku punya sumber informasi yang valid.

"Oh ya? Siapa memangnya? Sebagian besar rekan kerja saya sudah pada tua."

"Dia seorang pria muda, usianya tiga tahun lebih tua dari saya."

"Hm, itu pasti staff biasa."

"Bukan. Dia tidak bekerja di perusahaan yang sama dengan Bapak, tapi dia bilang sangat mengenal baik dengan Bapak."

"Siapa, ya?" Dahi Pak Bram sampai berkerut dalam, dia pasti berpikir keras untuk mengingat sesuatu.

"Dia juga suka makan di restoran ayam panggang itu."

"Begitu, ya." Pria itu menyangga dagunya dengan sebelah tangan di atas meja. "Entahlah. Ada terlalu banyak orang yang harus saya ingat. Jangankan di luar perusahaan, orang-orang dalam saja saya tidak begitu ingat, apalagi saya lebih sering berkomunikasi dengan dewan direksi dan staff manajer."

Dewan direksi dan staff manajer? Apa itu tidak salah? Kupikir dia hanya konsultan analisis bisnis biasa, tapi sepertinya dia termasuk jajaran atas di perusahaan Singapura itu.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang