09. Ternyata Aku Menguntungkan Baginya

5.2K 193 0
                                    

Setelah kenyang makan roti panggang, rupanya Pak Bram masih belum puas. Dia menyuruhku membuat jus alpukat, sementara pria itu mandi, di kamar mandi dekat dapur. Dia bilang shower di kamar mandi kamarnya rusak.
.
Ck! Apartemen mewah, kok, fasilitasnya gampang rusak! Kalau aku jadi Pak Bram, aku pasti langsung melayangkan protes, aku tidak terima, apalagi mengingat apartemen ini belum genap setahun pembangunannya. Alah, masa bodoh tentang itu, aku tidak ingin peduli.
.
Pantas saja dia membayarku tinggi untuk pekerjaan sepele, ternyata pekerjaan ringan yang harus kukerjakan tidak sedikit karena dia selalu menyuruhku ini-itu semaunya tanpa memberikan penjelasan yang lebih detail. Seperti tadi pagi, niatku menjadi pembantu yang baik dengan memberikan teh pagi justru ditolak mentah-mentah oleh Pak Bram! Ya, aku sudah terlanjur kecewa dengan kejadian itu, dan aku bertekad hanya akan melakukan tugas yang diminta Pak Bram saja, selebihnya ... terserah apa maunya dan aku tidak mau ambil pusing.
.
Aku baru saja meletakkan gelas tinggi berisi jus alpukat ke meja makan, aku berbalik dan di saat yang bersamaan Pak Bram keluar dari kamar mandi sehingga membuat kami saling berhadapan dengan jarak yang tidak begitu jauh.
.
"Aaaaaa!!" refleks aku berteriak panik dan langsung berbalik memunggungi Pak Bram.
.
Ya ampun! Dasar pria tidak tahu malu! Bisa-bisanya dia bertelanjang dada di depanku! Dia membuat napasku naik-turun tidak karuan, emosiku campur aduk dengan jantung yang nyaris melompat gila. Astaga, dia itu tampan sekali. Rambutnya yang masih basah meneteskan air menelusuri wajahnya. Pria itu jadi terlihat semakin cool. Ugh, andai saja dia mau tersenyum sedikit saja. Sayangnya hanya sebentar aku melihat pemandangan indah itu. Dadanya yang bidang, dan ... ah, apa yang aku pikirkan! Seketika aku merutuki diriku sendiri.
.
"Oh, maaf. Saya lupa kalau ada kamu di sini," nada suaranya datar seperti biasa, bahkan terdengar lebih santai. "Sebelumnya pembantu saya tidak ada yang mau tinggal di sini."
.
What?! Hello? Lupa? Dia lupa? Jawaban konyol macam apa itu? Memangnya dia anggap aku apa sejak kemarin? Jangan-jangan dia memang sengaja melakukannya! Aku marah sekali pada diriku sendiri karena pernah mengagumi tubuhnya yang indah. Oh, mungkin dia rajin pergi ke Gym.
.
Aku mendengar langkah Pak Bram kembali memasuki kamar mandi. Ketika keluar, aku melihat pria itu sudah mengenakan kemeja cokelat tuanya. Dia mendekati meja makan dan duduk di ujung meja.
.
"Memangnya kamu tidak pernah melihat pria bertelanjang dada, ya?" dia bertanya santai sambil meminum jus alpukatnya.
.
"Saya belum menikah, Pak, jadi saya—"
.
"Oh, begitu, ya." Dia tampak tak peduli meski sudah memotong perkataanku, menyugar rambutnya ke belakang. Hah, sok cool! Aku memutar mataku, sebal melihat tingkahnya. Dia kemudian mengambil roti panggang yang masih tersisa. "Polos juga kamu, ya?"
.
Pria ini bilang apa tadi? Aku polos, katanya? Berengsek, dasar pria tidak tahu malu! Aku mengepalkan tangan kuat-kuat demi meredam emosi. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sabar ... sabar. Dia adalah orang yang akan memberikan banyak uang untukku. Kalau bukan karena kebutuhan finansialku yang semakin menipis, aku pasti sudah meneriakinya dari kemarin.
.
"Maaf, Pak, apa saya boleh bertanya sesuatu?" Selagi aku masih bisa bersabar, aku memutuskan untuk menanyakan segala apa yang ada dalam benakku selama dua hari ini. Mungkin ini waktu yang tepat, Pak Bram juga tampaknya sedang santai, tidak memegangi dokumen kerja seperti biasanya.
.
"Kamu tidak lihat saya lagi apa?" dia menyahut tanpa menoleh padaku dan tetap asyik memakan roti panggang di tangannya. Ya Tuhan, aku merasa diriku ini hanya bayangan saja bagi Pak Bram.
.
"Tapi saya butuh kejelasan, Pak."
.
"Ya sudah, katakan saja," sahutnya tak peduli. Tidak kusangka dia berubah pikiran secepat itu. Kukira dia akan mengatakan berbagai macam alasan untuk menolak segala pertanyaan yang nantinya akan kuajukan.
.
"Sebenarnya Pak Tugiyo itu ada di mana, Pak?"
.
Pak Bram tidak langsung menyahut, aktivitas makannya pun seketika terhenti, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. "Kenapa kamu ingin tahu?"
.
"Karena saya bekerja di sini untuk Pak Tugiyo."
.
"Memang apa masalahnya? Saya yang gaji kamu di sini."
.
"Tapi semua berkas yang diberikan dari biro adalah data-data Pak Tugiyo."
.
"Fotokopi KTP yang saya kasih ke biro memang punya dia. Tapi berkas yang kamu terima, itu saya yang membuatnya. Selain nama dan usia, semua yang tercantum dalam berkas itu milik saya."
.
"Kenapa harus begitu?"
.
"Karena saya mencari PRT yang bersedia membantu seorang pria tua, bukan pria usia 32 seperti saya. Saya sudah bosan didekati banyak wanita dari berbagai kalangan yang rela jadi pembantu di sini. Kamu mengerti maksud saya, kan?" Pak Bram hanya melirikku singkat sebelum kembali memakan roti panggang berikutnya.
.
Yah, pasti wanita-wanita itu bukan cuma mengincar orangnya saja, tapi uangnya juga. "Iya, Pak."
.
"Sayangnya tidak ada satu pun dari mereka yang menguntungkan, jadi saya tidak tertarik."
.
Apa, menguntungkan? Apa maksudnya?
.
"Maksud Bapak apa? Menguntungkan dalam bentuk apa?" aku sangat penasaran dengan jawaban Pak Bram. Aku was-was, pikiranku terlanjur melayang pada hal yang tidak-tidak. Bisa jadi 'menguntungkan' yang dimaksud adalah menemani Pak Bram 'tidur' di ranjangnya.
.
"Kamu, kan PRT di sini. Kamu kasih saya jasa, dan saya kasih kamu uang. Begitu saja tidak paham."
.
Apa?! Dia menyepelekanku lagi! "Bukannya saya tidak paham, tapi—"

.
"Saya tidak suka mereka." Ugh, bisa tidak, sih, jangan memotong perkataanku terus! Aku mengumpat kesal dalam hati. Pria ini selalu berhasil membuatku naik darah setiap waktu. "Karena mereka hanya mengincar uang saya saja dengan cara menggoda saya. Saya tidak suka, ada udang di balik batu."
.
"Jadi menurut Bapak saya ini menguntungkan?" aku bertanya untuk lebih memastikan.
.
"Sudah dua bulan terakhir mereka jadi pengganggu. Memang awalnya saya yang salah, karena posting loker PRT di seluruh akun medsos pribadi saya yang diintegrasikan ke akun bisnis, kantor, rekan-rekan kerja dan klien. Yah, wajar saja banyak wanita yang mengincar saya. Begitu loker itu dibuka, ribuan chat langsung memenuhi semua akun saya, bahkan tidak sedikit yang datang langsung kemari. Terpaksa saya menutup aksesnya ke publik, dan saya pakai cara itu untuk mendapatkan PRT dari biro."
.
Hah, percaya diri sekali pria satu ini. Tidak semua wanita keles, aku tidak sudi jadi wanita murahan seperti itu. Umpatku dalam hati.
.
"Jadi, Pak Tugiyo itu sebenarnya siapa, Pak?" aku kembali bertanya demi memudarkan rasa penasaranku mengenai sosok Pak Tugiyo yang sebenarnya.
.
"Bisa tidak jangan cerewet? Kerjakan saja apa yang saya suruh dan jangan tanya yang macam-macam."
.
Meski diucapkan dengan nada datar, itu sudah cukup mampu membungkamku. Kata-katanya seolah mengisyaratkan jika aku tidak boleh membantah.
.
Pak Bram tiba-tiba bangkit berdiri. OMG! Apa dia marah? "Saya mau tidur sebentar. Bangunkan saya jam dua siang. Mengerti?"
.
"Ya, Pak." Oh, aku lega karena dia sama sekali tidak meninggikan nada suaranya.
.
Pak Bram melangkah menjauhi meja makan, tapi dia kembali menoleh ke arahku seperti ada sesuatu yang dilupakannya. "Oh ya, bersihkan ruang tengah. Nanti sebelum saya bangun, saya tidak mau meja makan ini masih kosong. Jangan masak, beli di luar, apa saja asal jangan junk food."
.
Aku menghela napas berat. "Iya, Pak."
.
Pria itu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi. Dia terlihat lelah. Aku tahu semalaman dia tidak tidur entah mengerjakan apa. Pagi ini, aku tidak menyangka, ternyata Pak Bram mau sedikit terbuka padaku, bersedia menceritakan sekelumit kehidupannya.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang