10. Gagal Move On

5.1K 174 0
                                    

Pagi pertamaku tinggal di sini, sudah membuatku bad mood, juga takut, entah karena hantu yang kulihat semalam atau pun karena sikap Pak Bram yang membuatku muak. Aku memang cuma pembantu di sini, tapi pembantu juga manusia, kan? Dan pembantu juga punya perasaan.
.
Ah, sudahlah. Yang kutahu semua majikan memang begitu, memperlakukan pembantu seenaknya.
.
Setelah membersihkan semua peralatan makan, aku bergegas menuju ruang tengah. Apartemen ini terasa sepi. Gelap, entah di mana Pak Bram menyembunyikan tombol lampunya, bahkan menurutku tempat ini cukup luas untuk ditinggali satu orang saja. Lagipula, apa Pak Bram tidak kesepian? Di mana keluarganya? Mana istri dan juga anaknya?
.
Suara itu ...
.
Begitu sampai di depan pintu sebuah kamar, aku mendengar tangisan lemah seorang wanita, lagi. Tiba-tiba saja perasaan terpukul menyayat hati ketika bentakan Pak Bram kemarin terngiang jelas di kepalaku. Entah apa yang membuat pria itu marah. Kalau memang tidak ada yang boleh memasukinya, kenapa Pak Bram membiarkan pintunya tidak terkunci? Sebenarnya siapa wanita di dalam sana? Kalau benar wanita itu istri Pak Bram, sungguh keterlaluan sekali pria itu.
.
Aku berusaha tak memedulikan, lagipula aku tidak mau membuat masalah lagi dengan Pak Bram. Aku tidak mau dipecat karena aku masih membutuhkan uang.
.
OMG! Pemandangan 'indah' langsung menyambut begitu aku menginjakkan kaki di ruang tengah. Kertas-kertas berserakan di atas meja, laptop juga masih menyala hanya di-mode sleep sehingga lampunya berkedip-kedip, stand lamp di sudut ruangan pun dibiarkan menyala, padahal ruangan sudah cukup terang karena sinar matahari yang masuk.
.
Ketika sedang membereskan peralatan tulis yang berjatuhan, tanpa sengaja aku menemukan sebuah kartu. Aku memungut dan memperhatikannya. Itu kartu nama milik Pak Bram.
.
Bramasta Aji Pangestu.
.
Namanya bagus, seperti orangnya yang tampan. Mendadak senyumku melebar tanpa sadar. Dia tidak berbohong soal namanya, aku jadi semakin penasaran siapa sosok Pak Tugiyo yang sebenarnya.
.
Ulang tahunnya ... 1 Januari 1986. Aha! Tepat saat tahun baru! Rupanya dia seorang konsultan analisis bisnis di perusahaan milik Singapura di Indonesia. Oh, pantas dia sering ada di rumah. Setahuku, pekerjaan itu memang tidak mengharuskan pegawainya berada di kantor setiap hari. Menyelesaikan semua pekerjaan di rumah dan rapat di kantor kliennya, selebihnya ... entahlah, aku tidak tahu.

-oOo-

Hari sudah beranjak semakin siang, Pak Bram yang tukang ngomel itu pasti marah kalau aku sampai terlambat menyiapkan makanan. Cepat-cepat aku memesan ojek online dan bergegas menuju sebuah restoran.
.
Ah, sebal sebenarnya. Kenapa harus beli? Padahal memasak adalah hobiku, apa Pak Bram sudah terlalu kecewa dengan masakan yang kubuat semalam? Sebenarnya ada apa dengan masakanku, separah itukah rasanya di lidah Pak Bram? Ya, mungkin makanan mahal sudah jadi kesehariannya, sehingga memengaruhi selera masakan rumah sejuta rasa yang kubuat.
.
Aku sudah berdiri di depan sebuah restoran, bukan restoran mewah memang. Kondisi keuanganku lagi sekarat akut, hanya ada dua ratus ribu di dompetku, tentu tidak akan cukup untuk membeli makanan orang kaya di restoran bintang lima. Lagipula, salah Pak Bram sendiri kalau makanan yang kubawa bukan kelasnya. Pria itu memang aneh. Awas saja kalau dia sampai protes ini-itu, harusnya kalau mau nyuruh, ya, kasih uang juga, dong.
.
Langkahku gontai memasuki restoran itu, semoga saja harga makanan di sini tidak begitu mahal.
.
"Rany!"
.
Aku sedang melihat papan menu ketika ada suara berat yang memanggilku, siapa? Rasa penasaran membuatku menelusuri keseluruhan tempat ini dan menemukan seorang pria yang duduk di salah satu sudut. Dia tersenyum manis sambil melambaikan tangan padaku.
.
Dia ... ya, aku tidak akan lupa siapa dia. Aditya, cinta pertamaku di kampus. Aku sudah mengidolakannya sejak pertama kali masuk di organisasi musik yang diketuainya dulu. Melihat dia ada di sini, mengingatkanku kembali pada masa lalu. Saat-saat yang indah ketika bersamanya, mengobrol, bercanda tawa, mencurahkan isi hati-masing-masing, aku bahkan masih ingat bagaimana dulu dia sering menyapaku, persis seperti yang dia lakukan saat dia memanggilku tadi. Meski sudah hampir dua tahun berlalu, sampai saat ini aku masih saja gagal move on.
.
Bagiku, dia tidak lebih hanya sekadar ilusi, seperti mimpi yang tidak pernah bisa kugapai. Jelas-jelas dia tahu betapa besar perasaanku padanya, tapi dia justru memilih pura-pura tidak tahu dan mengabaikanku. Dia memilih Kismaya, juniorku. Sampai detik ini aku masih sangat menyesalinya, kenapa dulu aku gengsi untuk menyatakan cinta lebih dulu, dan kenapa aku tidak berusaha lebih keras demi mendapatkannya.
.
Aku menghampirinya, duduk tepat di hadapannya. Saat memandangi wajah Aditya yang penuh kegembiraan, membuatku ingin menangis. Aku tidak bisa tersenyum dan pura-pura bahagia di depannya. Bayangan masa lalu kami benar-benar menggerogoti jiwa ragaku. Perhatian palsu yang sering dia berikan dulu, entah mengapa sulit sekali untuk dilupakan. Hatiku sakit, apa lagi setelah tahu si tukang tebar pesona itu tidak memberikan senyumannya untukku saja.
.
"Bagaimana kabarmu sekarang?" tanyanya setelah beberapa saat suasana hening.
.
"Baik. Kamu?" aku menjawab sedatar mungkin, berusaha tidak terbawa perasaan.
.
"Ya, aku juga baik." Aku sudah membuka mulut hendak menanyakan kabar Kismaya. Lebih tepatnya ... status Aditya, apakah dia masih menjalin hubungan dengan wanita tidak tahu diri itu atau tidak. Tapi Aditya sudah terlanjur mendahului, dia bertanya, "Oh ya, kamu tinggal di mana sekarang? Beberapa hari yang lalu aku mampir ke kontrakan kamu, tapi katanya kamu sudah pindah."
.
Oh Tuhan, dia ke rumahku? Ada angin apa dia mau menyempatkan diri ke rumahku? Apa dia mau membicarakan kisah masa lalu kami yang tertunda? Hm, mungkin dia bermaksud ingin mencurahkan isi hati karena baru putus dari Kismaya. Tawaku langsung pecah di dalam hati. Baguslah kalau memang benar begitu.
.
"K-kamu, ke rumahku?" aku bertanya untuk memastikan. Sedikit gemetar, karena aku memang selalu gugup setiap kali di dekatnya.
.
"Iya. Hm, kata orang-orang di sana kamu diusir dari kontrakan dan jadi pembantu. Apa berita itu benar?"
.
Astaga, aku sama sekali tidak menyangka dia akan bertanya begitu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mau dikasihani olehnya kalau menjawab fakta yang sebenarnya.
.
"Sayang!"
.
Belum sempat menjawab pertanyaan Aditya, tiba-tiba saja seorang wanita datang menghampiri. Dia ... Kismaya. Kenapa dia di sini? Mau apa dia?? Seketika amarah menguasaiku. Tidak bisa dipungkiri, rasa cemburu itu tetap ada. Ah, benar. Seharusnya aku sadar makanan dan minuman di meja ini tidak hanya satu, tapi dua, pasti milik Kismaya! Ck, menyebalkan!
.
"Eh, ada Kak Rany." Dia menoleh padaku. Meski nada suaranya terdengar ceria, terlihat jelas sorot matanya menunjukkan rasa tidak suka dengan keberadaanku. Ya, tentu saja, Kismaya lebih dari sekadar tahu soal perasaanku pada Aditya. Atensinya kemudian beralih pada Aditya. "Wah, kita lupa tidak membawa undangannya, ya, Sayang," katanya dengan nada mesra.
.
Cih! Menyebalkan! Aku siram wajahmu pakai air teh baru tahu rasa kamu, Kismaya! Dasar pengganggu!
.
Tunggu! Dia bilang apa tadi? Undangan?
.
"Undangan?"
.
Aditya kembali beralih menatapku. "Ya, sebenarnya waktu itu aku ke rumah kamu buat nyerahin undangan pernikahan kami." Aku jadi semakin geram saat tanpa sengaja aku melihat sebelah tangan Aditya merangkul Kismaya yang sudah duduk di sebelahnya.
.
"Iya, Kak, kita mau menikah minggu depan." Kismaya tersenyum manis dan balas merangkul Aditya. Sial, dia pasti sengaja menyindirku! "Oh ya, kapan Kak Rany akan menikah? Jangan sampai dituduh mengganggu suami orang, lho, Kak?" Iyuh, astaga ... nada sinisnya itu begitu kentara. Sebal sekali rasanya, kenapa Aditya hanya diam saja?
.
Aku sudah tidak sanggup lagi menahan diri dan pura-pura tidak ada masalah. Aku langsung bangkit berdiri, ingin cepat-cepat pergi dari hadapan mereka. "Sayangnya aku sudah menikah! Jadi kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan pernah merebut Aditya darimu!"
.
Sepasang calon pengantin itu tampak terkejut. Mereka sama-sama memberi sorot tak percaya. Bodoh amat, toh, setelah ini aku tidak akan bertemu mereka lagi. Aku tidak sudi datang ke pernikahan mereka!
.
"Jadi, Kak Rany, sudah menikah?"
.
"Apa, Ran, kamu sudah menikah?" Aditya yang tampak paling terkejut dengan fakta bohong yang tadi kukatakan.
.
Aku berusaha tak memedulikan dan pergi. Aku tidak mendengar suara apa pun lagi dari mereka. Ya Tuhan, hatiku sakit sekali rasanya. Sedikit-banyak aku bisa membaca ekspresi Aditya, ada perasaan kecewa tersirat dalam ekspresi terkejutnya tadi. Sebenarnya aku masih berharap dia mau kembali padaku. Tidak ada salahnya, bukan? Selagi janur kuning belum melengkung, semua bisa terjadi.
.
Semakin jauh melangkah, keinginan yang kuat itu berusaha terus menggodaku, membuat pikiran-pikiran kotor bermunculan untuk merebut Aditya. Aku yang lebih dulu mengenal Aditya, dan akulah yang lebih pantas mendapatkannya.
.
Tapi ... aku tidak mau seegois itu. Aku juga wanita yang punya perasaan. Apalagi ... saat sedang memesan makanan aku memperhatikan dari kejauhan. Mereka terlihat bahagia, tertawa bersama menikmati canda gurau yang dibuat Aditya. Ya, benar, jika aku memaksa keadaan dan merebut Aditya, aku tidak yakin Aditya akan tertawa selebar itu saat bersamaku.
.
Aku tahu, cinta bukan berarti harus memiliki. Baiklah, sampai detik ini aku masih berusaha merelakannya. Bahagia, bersama orang yang dicintainya.
.
Maafkan aku, Aditya, aku terpaksa berbohong. Aku sangat-sangat sadar, sudah ada Kismaya di sisimu. Tapi sampai sekarang pun aku tetap berharap kamu juga bisa melihatku sebagai seseorang yang special di hati kamu. Terima kasih banyak, Aditya, untuk semua perhatian dan senyum kamu yang selalu menghiasi pertemuan kita selama empat tahun kuliah.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang