28. Undangan Pernikahan

3.6K 176 6
                                    

Maaf banget, ya, teman-teman, baru bisa post sekarang. Semoga kalian tidak lupa dengan cerita saya :)

***

BAGIAN I

"Aku mau memberikan ini."

Sabtu malam yang sepi. Aku cukup terkejut ketika Kak Bram tiba-tiba mengetuk pintu kamarku di tengah malam. Kupikir hari ini tidak akan ada pembicaraan di antara kami, mengingat pria itu terlihat sibuk sejak pagi tadi.

Dia bilang harus kejar target demi bisa menyelesaikan semua pekerjaan sebelum masa kontrak kerjanya habis akhir bulan nanti. Seharian ini pun dia pergi entah ke mana, dia hanya memintaku membuatkan sarapan pagi-pagi sekali.

Aku memperhatikannya lekat. Dia bahkan masih memakai setelan jas rapi, mungkin dia baru saja pulang dan langsung mengetuk pintu kamarku. Sebuah benda persegi panjang yang dia sodorkan membuatku diam terpaku. Itu ... rasanya aku tidak ingin mengakui bahwa benda itu bisa jadi adalah sebuah undangan pernikahan.

"Ini ..." Aku mengambilnya dengan tangan gemetaran, aku takut nama yang saat ini ada di pikiranku terpampang dalam undangan berwarna hitam mengilap tersebut.

Dengan perasaan takut-takut aku membuka kertas tebal itu. Ya Tuhan, nama Aditya benar-benar tercantum di dalamnya, bersama Kismaya. Aku sungguh tidak menyangka, ternyata dia tidak main-main soal pernikahan, kupikir ucapannya waktu itu hanya omong kosong untuk membuat api cemburuku berkobar.

Bagai tersambar petir di siang bolong, hatiku hancur, lebih dari berkeping-keping. Dia pria pertama yang mampu melumpuhkan hatiku, dia yang membuatku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, mengenal arti rindu dan cemburu. Dia yang selama ini mengisi ruang di hati juga pikiranku, membuatku tertawa bahkan menangis. Sejak awal seharusnya aku tahu dan sadar, bukan kata-kata cinta yang kuharapkan darinya, melainkan kalimat selamat tinggal yang diucapkan dengan senyuman manis.

Tanpa sadar setetes air mata meluncur cepat menuruni pipiku. Apakah penjelasannya—di restoran—waktu itu hanyalah angin lalu saja? Tidak ada artinyakah? Apa sebenarnya dia tidak benar-benar mencintaiku? Benarkah semua yang dia katakan waktu itu hanya mengarang cerita saja demi menghiburku?

Tidak! Tidak mungkin dia begitu. Ini pasti hanya undangan palsu. Aku yakin dia juga mencintaiku. Aku terus berusaha meyakinkan diri dan berpikir positif tentangnya.

"Orang suruhan Aditya yang memberikannya padaku tadi siang," suara berat dan datar itu menyadarkan logikaku. Benar, aku tidak hanya sendirian saja di sini. Kak Bram, dia memberi tatapan yang begitu dalam sekaligus penuh selidik. Aku tidak tahu kenapa, malam ini dia terlihat kelam, raut wajahnya pun begitu dingin padahal kemarin—saat kencan—dia terlihat sangat bahagia, seolah waktu dan keadaan telah berhasil mempermainkan ekspresi wajahnya yang tampan. Aku benci ketika dia hanya diam saja begini, tak ada senyuman, tak ada emosi, aku jadi tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini.

Perkataan Kak Bram meruntuhkan kepercayaanku seketika. Keyakinan bahwa Aditya bisa saja masih mencintaiku, sengaja membuat undangan palsu ini untuk menguji perasaanku. Tapi, kalau hal itu benar terjadi, seharusnya undangan itu diberikan padaku dan bukan pada Kak Bram, sementara sampai detik ini aku tidak menerima undangan itu. Apakah Aditya memang sengaja tidak mengundangku?

Kertas undangan itu terlepas dan jatuh begitu saja dari tanganku. Aku mulai sesenggukan ketika undangan itu tepat menumbuk kerasnya lantai. Aku hanya bisa tertunduk dalam demi menyembunyikan raut sedihku dari Kak Bram. Sebenarnya aku tidak ingin menangis, tapi hatiku terlalu sakit untuk menahan air mata agar tidak jatuh di depannya. Aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa, meski aku tahu dia akan terluka karena air mata ini jatuh untuk adiknya, bukan dirinya.

Dia melangkah mendekat, tanpa kuduga dia menarik tubuhku, membuatku terjebak dalam rengkuhannya yang hangat. Dia memelukku, lebih erat dari pelukan yang pernah dia berikan sebelumnya. Dia menawarkan tempat bersandar yang teramat nyaman bagi kesedihanku yang memang sudah tidak sanggup lagi kutahan sendirian, hingga pada akhirnya aku pun terisak-isak dalam pelukannya, bahkan tanpa sadar tanganku balas melingkari pinggangnya.

Aku terhanyut dalam belaian sayangnya. Dia memberikan ketenangan, kenyamanan, juga kehangatan yang selama ini belum pernah kudapatkan dari pria mana pun, termasuk Aditya sekalipun. Dia hanya diam saja, membiarkan diriku terisak selama beberapa lama, hingga akhirnya aku mulai bisa mengontrol emosi. Aku berusaha menenangkan diri.

"Cinta itu seperti ilusi. Benar begitu, bukan?" dia berucap lirih. Belaian sayang yang sedari tadi membuatku terbuai mendadak terhenti. "Tidak terlihat, tapi nyata. Ingin melupakan tapi tidak bisa. Semakin diingat, entah kenapa justru terasa semakin menyakitkan di dalam hati."

Kata-kata itu membuatku tertegun. Aku tidak menyangka akan mendengar kalimat macam itu dari seorang Bramasta, kalimat yang diucapkan dengan lirih dan penuh luka, seakan memang mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tidak bisa dipungkiri hatiku ikut merasakan perih, menyentak logikaku, mengingatkan bahwa apa yang aku rasakan saat ini juga dirasakan olehnya.

Kenapa? Di saat harapanku hancur karena pria lain, di saat hati ini selalu ingin memihak pada pria lain, bahkan di saat air mata ini jatu untuk pria lain. Kenapa justru Bramasta yang harus menjadi tumpuan bebanku? Kenapa dia selalu bersedia menjadi tempatku bersandar? Ketulusan yang selama ini kuharapkan dari pria lain, justru datang dari seorang pria yang tidak benar-benar aku cintai, dia yang baru kukenal selama beberapa minggu terakhir ini.

Kenapa aku jadi sekejam ini? Aku memang terluka karena Aditya, tapi tanpa sadar aku juga sudah melukai pria di depanku yang jelas-jelas sudah mencintaiku sejak lima tahun lalu.

Aku benar-benar malu. Sungguh tidak bisa dipercaya aku masih punya keberanian memberikan kesempatan pada Bramasta untuk lebih dekat dengan diriku yang sejak awal memang dilema. Sungguh, aku sama sekali tidak bermaksud melukainya, aku tidak ingin memberi harapan palsu padanya. Apakah salah jika aku ingin mencintainya di saat hati ini belum bisa sepenuhnya berpaling dari pria lain? Apakah aku egois dan kejam pada Kak Bram?

Perlahan, aku berusaha melepaskan diri dari rengkuhan pria ini. Tampaknya dia mengerti dan langsung melepaskanku begitu saja. "Maaf, Kak, aku ingin sendiri dulu."

-oOo-

Semalaman aku tidak bisa tidur karena pikiranku terus dipenuhi perasaan bersalah pada Kak Bram. Aku sendiri juga bingung kenapa harus merasa begitu. Hanya saja, aku merasa seperti sudah menusuknya dari belakang. Di depannya, aku terlihat seperti sangat menikmati permainan cinta yang dia buat, tapi di belakangnya ... diam-diam aku masih saja menyimpan rasa dan harapan untuk Aditya. Tidak heran jika tubuhku jadi terasa sakit semua begini, stress berat memang seringkali menyita tidur lelapku.

Kupikir hanya aku yang terluka di sini, tapi pemikiran itu berubah ketika tanpa sengaja aku terbangun pada dini hari hendak ke kamar mandi. Saat melewati kamar Kak Bram, pintunya terbuka sehingga aku bisa melihat separuh isi ruang kamarnya yang gelap. Aku melihat pria itu tengah berdiri di depan cermin besar, mematung di sana, terlihat jelas dia begitu frustrasi. Satu tangannya lurus ke depan dengan telapak tangan menempel pada permukaan cermin. Kepalanya pun tertunduk dalam seperti ada suatu permasalahan yang membebaninya.

Dalam diam aku terus mengamatinya. Posisinya sedikit memunggungiku, kurasa dia tidak akan mengetahui keberadaanku kecuali jika tiba-tiba dia berbalik. Rasa khawatir seketika menyambut diriku, sudah berapa lama dia berdiri di sana? Padahal jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kenapa dia belum tidur? Seisi kamarnya berantakan, banyak kertas berhamburan di lantai. Tumpukan beberapa pakaian juga tergeletak begitu saja di atas ranjang.

Pyaarr!

Aku terkejut bukan main, saat cermin itu dipukulnya dengan begitu keras sampai pecah berhamburan di atas lantai. Beruntung aku langsung membungkam mulut sehingga tak sempat menjerit saking kerasnya suara itu.

Kejadian itu membuat jantungku berdegup kencang tak karuan. Mendadak aku tak ingin ke kamar mandi, langsung berlari, bersembunyi di dalam kamar dan ... sampai saat ini pun begitu. Dia kenapa? Dia membuatku takut untuk menemuinya. Aku sampai tidak berani keluar kamar.

Seharian ini, dia tidak mengetuk pintuku sama sekali. Dia pergi sejak pagi, tanpa berpamitan padaku. Dia benar-benar tidak seperti biasanya. Saat hendak pergi pun dia sampai membanting pintu. Benakku jadi bertanya-tanya, hal apa yang membuatnya jadi begitu? Apakah dia marah padaku? Tapi apa salahku? Bukankah semalam kami baik-baik saja? Sebenarnya dia pergi ke mana? Ini hari Minggu, dan nanti malam seharusnya jadi momen bahagia karena adiknya akan menikah.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang