30. Kamar Terlarang

5.5K 197 9
                                    

Halo, Teman-teman, untuk part selanjutnya ending, ya. :)

***

BAGIAN II

Aku hanya bisa terbaring lemah di ranjang kamar Kak Bram, kepalaku masih agak pusing. Aku menoleh ke samping dan mendapati pria itu sedang memeras handuk yang baru saja dicelupkannya pada sebuah baskom berisi air hangat.

"Aku tidak mau lukaku kena air," aku berucap tepat saat dia hendak menempelkan handuk basah itu ke dahiku. Sengaja, aku tidak mau menambah perih pada lukaku yang memang sudah berdenyut nyeri sedari tadi.

"Kenapa, sih, kamu keras kepala sekali?" suara Kak Bram jadi terdengar putus asa.

"Aku tidak mau, nanti jadi tambah sakit," kataku dengan nada manja. Biasanya sikap manjaku memang cukup ampuh untuk meluluhkannya.

"Kalau lagi sakit, ya, menurut saja. Memangnya ada, ya, pasien yang menolak pengobatan dari dokternya?"

Aku memicingkan mata ke arahnya. "Memang kamu dokter? Apa kamu sudah berubah profesi sekarang?" aku balas menyindir dengan nada tak suka yang kubuat-buat sebenarnya. Tentu saja aku tidak benar-benar marah, mana mungkin aku sesinis itu pada seorang pria yang begitu perhatian padaku. Tapi, kalau diperhatikan dia tampak serius menanggapi setiap perkataanku. Wajahnya pun mulai terlihat dingin pertanda dia sedang menahan amarah. Aku menahan tawa di dalam hati. Ah, sebegitu kakunya pacarku yang tampan ini. Tapi ternyata ... mengerjainya begini bisa sedikit menghibur hati. Senyumku pun melebar tak tertahan lagi. Ya, benar saja, aku jadi bahan tatapan tajam pria tak peka itu.

"Kenapa tiba-tiba kamu tersenyum begitu?" tanyanya dengan dahi berkerut dalam. OMG! Dia benar-benar tidak tahukah?

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Oh, tidak. Aneh saja, padahal tadi kelihatannya kamu marah padaku."

"Tidak sama sekali, mana mungkin aku marah padamu." Aku pun tertawa, meski pelan dan sebentar. Kupikir dia bukan tipe orang yang suka bergurau. Baiklah, tawa histeria pun harus kutahan dalam-dalam. Aku tidak mau membuatnya marah. Senang sekali rasanya bisa mengenalnya lebih jauh begini. "Kak, tolong bantu aku bangun, dong." Aku mengulurkan tangan ke arahnya. Aku ingin tahu apakah dia suka dengan sikap manjaku.

Kak Bram menyunggingkan senyuman sembari memberi tatapan jenaka. Uh, aku sebal ditatap begitu olehnya! Tanpa pikir panjang dia langsung meraih tanganku. "Tumben. Biasanya cuma panggil nama. Sudah mulai sadar diri rupanya."

"Lupa," aku hanya menyahut ala kadarnya. Benar juga. Aku nyaris tidak pernah menyadari kalau akhir-akhir ini aku hanya memanggil namanya saja. Seperti sudah terbiasa dan ... spontanitas.

"Oh ya?" Kak Bram mengeratkan genggaman tangannya, sementara satu tangannya yang bebas merangkul pundakku. Dia membantuku bangun dengan perlahan dan hati-hati.

Refleks aku mendesis pelan, rasa sakit di kepala jadi semakin terasa saat duduk.

"Jangan dipegang!" Kak Bram langsung mencekal tanganku yang bergerak hendak menyangga kening. "Izinkan aku untuk jadi doktermu selama beberapa menit saja, okay?" Dia menatapku dengan sorot hangat. Senyuman manis yang dia torehkan melenyapkan logikaku, mengalahkan rasa kagumku pada teori hypnotherapy yang dulu pernah kupelajari saat di kampus.

Aku mendengus sebal dan seketika memalingkan wajah. Ah, dia membuatku tersipu dan aku memang selalu begitu saat merasa malu. "Dokter gadungan."

Kak Bram tertawa. Satu hal darinya yang saat ini mulai jadi canduku. Pandanganku bahkan sampai tidak bisa berpaling darinya. Tanpa sadar kedua sudut bibirku sudah terangkat membentuk senyuman kecil.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang