12. Ayam Receh

5.2K 186 0
                                    

"Berengsek! Dasar pria tidak tahu malu!!" Mulutku tidak bisa berhenti mengumpat kesal saat mengingat semua kejadian di kamar Pak Bram. Meski begitu tanganku tetap bekerja, mengelap piring dan gelas yang baru saja kucuci. Entah sedang melakukan apa pria itu di kamarnya, sudah hampir satu jam dia tidak juga muncul, padahal bilangnya cuma mau ganti baju sebentar.

Ada rasa khawatir sebenarnya, takut terjadi sesuatu. Belum lagi semua makanan juga sudah terlanjur dingin. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh dan sudah lewat jam makan siang. Bagaimana kalau Pak Bram sampai sakit maag karena telat makan?

Halah, buat apa juga aku harus mengkhawatirkan orang seperti dia? Mau telat makan atau tidak makan pun itu bukan urusanku, yang penting aku sudah menjalankan tugasku menyiapkan makanan untuknya. Perasaan kesal itu kembali menggerogoti jiwaku, menggugurkan rasa khawatir yang sempat tumbuh. Karena emosi, aku mengelap gelas yang kupegang dengan kasar. "Dasar pria gila! Mesum! Tidak tahu diri! Banyak maunya! Hah, untung ganteng, kalau tidak—"

"Kalau tidak, mau apa?"

Pyaarr!

Suara berat itu membuatku terkesiap. Gelas yang kupegang pun langsung terlepas dari genggamanku dan jatuh menumbuk kerasnya lantai. Beruntung karena semua pecahannya tidak sampai mengenai kakiku.

Deg! Deg! Deg! Ya Tuhan, jantungku! Seketika aku syok dan was-was. Di belakang sana Pak Bram pasti sedang berdiri mengawasiku. Apa dia mendengar makianku dari tadi? Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia marah dan memecatku? Oh, astaga, matilah aku!

"Mau memecahkan barang saya yang mana lagi? Kenapa masih melamun di situ?" nada suara Pak Bram tetap datar seperti biasa. Entah bagaimana ekspresinya. Aku tidak berani berbalik. Aku takut untuk berhadapan dengannya.

"I-itu, Pak, saya ..." Aku hanya bisa menundukkan kepala.

Aku bisa mendengar setiap langkah Pak Bram, tak lama kemudian terdengar suara kursi diseret. Sepertinya Pak Bram tidak terlalu peduli dengan tingkahku. Pelan-pelan aku mencoba berbalik, mendapati Pak Bram sudah duduk manis di ujung meja dan bersiap menikmati makanannya, sama sekali tidak menatapku. Ekspresinya pun dingin seperti biasa, tidak menunjukkan amarah sedikit pun. Aku lega, tapi sekaligus khawatir karena sikapnya saat ini.

"Itu gelas mahal, tahu tidak? Saya membelinya langsung dari Singapura." Pak Bram masih terlihat santai, menuangkan air putih ke dalam gelas lalu meminumnya. Sebenarnya pria ini marah atau tidak? Kata-katanya memang seperti sindiran tajam, tapi sikapnya datar-datar saja seperti tidak ada masalah. Aku jadi bingung harus menghadapinya bagaimana, harus merasa bersalahkah, minta maaf, atau justru aku harus biasa-biasa saja?

Aku mengabaikan pecahan kaca yang berserakan, dan melangkah mendekat ke sisi meja makan. "Maaf, Pak, saya benar-benar tidak sengaja," ucapku dengan penuh rasa sesal. Setidaknya sekarang aku harus terlihat semenyesal mungkin agar Pak Bram merasa iba padaku. Lagipula, aku tidak punya uang untuk mengganti gelas itu.

Tanpa kusangka Pak Bram mendongakkan kepala dan menatapku. Tentu saja aku terkejut dan langsung mengalihkan pandangan. Jangan sampai aku ketahuan terus memandanginya dari tadi. "Kenapa matamu merah begitu. Saat di kamar juga sepertinya begitu. Hanya disuruh beli ayam receh begini saja kamu menangis?" komentarnya dengan nada enteng.

Dia bilang apa tadi? Ayam receh? Tuh, ayam harganya 185 ribu, ya! Bahkan tadi aku harus jalan kaki dulu sejauh seratus meter karena uang yang kupunya tidak cukup untuk membayar ojek online kalau langsung pesan dari restoran. Kupikir pria ini selalu cuekk bebek dengan semua masalah, tapi diam-diam dia memperhatikanku rupanya.

"Kalau Bapak tidak mau ayam receh, harusnya Bapak kasih saya uang, dong," protesku.

"Memangnya tadi pagi saya tidak kasih kamu uang, ya?" ucapnya sok polos. Nada bicaranya, sih serius. Entah dia benar-benar pikun, atau ... sengaja memikunkan otaknya. Wah, gawat juga kalau dia terus pikun begitu. Bisa-bisa dia lupa membayar gajiku setiap tanggal satu nanti.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang