BAGIAN II
"Tumben Bapak mau makan makanan yang saya buat."
Aku baru saja menyelesaikan aktivitas memasakku. Dengan hati-hati aku meletakkan mangkuk ukuran sedang berisi sup ayam ke tengah meja makan. Jantungku mendadak berdegup kencang menantikan respons atas kalimatku tadi. Masih seperti biasa, aku berdiri mematung di sisi meja makan, menemani majikan kesayanganku makan.
Diam-diam aku memperhatikan Pak Bram yang sedang asyik memainkan ponselnya. Entah dia mendengar kata-kataku tadi atau tidak. Kalau terus diabaikan begini, rasanya aku ingin langsung pergi saja.
"Marah, salah. Diam, salah," katanya dengan nada santai. "Sepertinya, di mana-mana pria selalu jadi sumber kesalahan dari para wanita."
Ya, benar sekali. Para pria memang selalu membuat masalah. Menganggap dirinya peka padahal tidak. Kesal sebenarnya, tapi ... mendengar pengakuan itu dari Pak Bram membuatku ingin tertawa.
Jawabannya cukup mengejutkan bagiku. Dia tidak menatapku, terus saja sibuk memainkan ponselnya. Aku bergerak pelan, sedikit mendekat untuk mengintip apa yang sedang dilihatnya.
Oh, email.
Dia sedang mengecek banyak email yang masuk. Pasti ada hubungannya dengan pekerjaan.
"Maksud Bapak apa? Saya tidak bicara begitu tadi." Aku berusaha tak memedulikan kesibukannya dan tetap bertanya.
"Ya, saya sudah tahu. Saya salah."
"Oh ya?" aku sengaja berucap dengan nada sedikit sinis, sebal karena dia tetap fokus pada benda lima inchi itu. Aku yakin dari tadi dia hanya asal bicara saja. "Memangnya apa salah Bapak? Padahal dari tadi saya sama sekali tidak menyalahkan Bapak."
Ada perasaan bingung sebenarnya, tapi setelah kupikir-pikir, sepertinya dia sedang membahas soal hari pertamaku kerja di sini, ketika aku memasakkan makanan untuknya malam itu.
Tiba-tiba dia mengangkat wajah dan menatapku, membuatku sedikit tersentak. "Tanpa kamu menjelaskannya pun saya sudah tahu ke mana arah pembicaraan kamu. Saya memang sangat peka terhadap permasalahan orang lain."
Hah! Peka, katanya? Maksudnya sok tahu? Aku sebal sekali mendengar kata-kata itu.
Dia menatap layar ponsel sebentar sebelum mematikan layarnya lalu kembali menatapku. "Saya akui, waktu itu saya memang tidak suka dengan masakanmu."
"Boleh saya tahu alasannya? Pasti bukan karena rasanya yang tidak enak, kan, Pak?" Aku mencoba menduga-duga.
Pak Bram tidak langsung menyahut, justru memberi isyarat mata menyuruhku duduk. Terserah sajalah, aku memilih menurut dan duduk di kursi terdekatnya.
Pak Bram mengambil mangkuk supnya dan mulai makan beberapa suap. "Ini ... lebih dari enak." Dia melebarkan senyuman.
Sebelum aku mulai terbuai dalam tatapannya, aku langsung mengalihkan pandangan, mencoba menjernihkan akal sehatku. "Lalu kenapa waktu itu Bapak marah-marah? Apa sejak awal Bapak memang membenci saya?" Ah, pertanyaan konyol memang. Kalau pria ini benar-benar mencintaiku, dia tidak akan membenciku hanya karena masakanku tidak disukainya.
Dia tertawa pelan, terasa seperti ironi, hanya sebentar. "Tentu saja tidak. Saya marah bukan berarti saya membenci kamu. Maaf, karena ini masih ada hubungannya dengan Santi."
Deg!
Apa? Santi, lagi?
Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak saat ini juga begitu nama wanita itu kembali disebutnya.
"Saya marah, kenapa kamu harus sebegitu mirip dengan Santi? Bahkan masakanmu waktu itu pun mirip dengan rasa makanan yang pernah dibuatnya untuk saya." Hatiku menciut seketika ketika mendengar nada suaranya jadi sedikit rendah, ada kesedihan yang berusaha dia sembunyikan dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Jadi Cinta (Terbit)
Roman d'amourREADY STOCK @90k Untuk pemesanan bisa WA : 085877790464 Cover : @marudesign Genre : romance-horror Siapa bilang pembantu itu tidak berpendidikan. Tidak semuanya begitu, dan tidak semua pembantu punya kelas rendahan. Aku misalnya. Kini aku...