15. Si Tukang Suruh-Suruh

4.4K 166 4
                                    

Hari sudah beranjak siang. Aku menghidupkan layar ponsel karena tak menemukan jam di sekitarku. Sudah menunjukkan pukul 13. 45 sekarang. Pantulan cahaya yang menyilaukan menembus gorden tebal yang menutupi jendela kamarku. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali kembali berbaring di atas kasur. Aku sudah lelah membersihkan ruang tamu.

Tadinya aku berniat ingin merapikan kamarku. Beberapa pakaianku masih belum tertata rapi di lemari, peralatan make up, juga tas koper yang masih kuletakkan sembarangan. Aku memang belum sempat menata barang-barangku karena Pak Bram selalu menyuruhku ini-itu dan saat-saat itu aku sudah terlalu lelah untuk membereskan semuanya.

Entah kenapa, pikiranku masih saja dipenuhi oleh kejadian semalam. Bayangan sosok Pak Tugiyo masih saja menghantuiku. Pria itu aneh sekali, cara bicaranya yang datar membuatku takut, apalagi sorot mata membunuh yang dia layangkan. Kenapa dia melakukan itu padaku? Aku membayangkan, entah apa yang akan terjadi jika Pak Tugiyo benar-benar bertemu dengan Pak Bram.

Tadi pagi, ketika aku sedang membersihkan ruang tamu, ada banyak cipratan cairan lengket warna merah berceceran di lantai, dari arah pintu sampai sofa. Kalau diingat-ingat, arahnya sejalan dengan langkah Pak Tugiyo semalam.

Aku sendiri heran, kenapa aku tidak menyadarinya semalam? Apa karena cahayanya terlalu redup? Aku sangat berharap cairan lengket itu bukanlah darah atau sesuatu yang berasal dari Pak Tugiyo. Aku menghela napas berat. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding. Bagaimana aku bisa bertahan di tengah ancaman tersirat di antara obrolanku dan Pak Tugiyo semalam?

Dengan perasaan takut-takut aku terpaksa membersihkan cipratan merah itu, karena kalau tidak Pak Bram pasti akan marah besar. Sungguh, jantungku berdegup gila dengan napas memburu ketika bau anyir menusuk hidung saat aku mulai mengelapnya.

Dan lagi ...

Teh yang kuberikan untuknya, sama sekali tak berkurang, padahal jelas-jelas semalam aku melihat pria tua itu meminumnya sampai habis setengahnya.

Sesekali aku sempat berpikir jika kejadian semalam itu hanyalah mimpiku belaka. Tapi ... jika itu hanya sekadar mimpi, kenapa cangkir teh itu tergeletak di atas meja ruang tamu? Ya, aku memang tidak langsung menyingkirkannya semalam. Lalu bagaimana dengan cipratan merah itu?

Belum cukup sampai di situ. Semalam, ketika aku hendak kembali ke kamar, lagi-lagi aku mendengar suara tangisan wanita itu lagi. Suaranya memang seperti berasal dari kamar terlarang, tapi aku tidak yakin suara itu benar-benar berasal dari sana, karena bisa jadi itu suara dari penghuni apartemen lainnya.

Aku mencoba berpikiran positif. Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa. Semua ketakutanku itu hanya ilusi, hanya ilusi.

Di tengah lamunan yang membelenggu pikiranku, tiba-tiba saja ponselku berbunyi nyaring membuatku tersentak kaget. Aku segera meraih ponselku dan menghidupkan layarnya. Ada pesan WhatsApp rupanya. Nama panggilan Pak Bram langsung terpampangnyata.

Si Tukang Suruh-Suruh >> Saya sedang dalam perjalanan pulang, sekitar dua jam lagi baru sampai. Tolong belikan ayam panggang favorit saya. Jangan menangis lagi, nanti uangnya saya ganti.

Tanpa sadar senyumku langsung melebar. Ah, entah kenapa mendadak perasaan takut yang menguasaiku sejak semalam lenyap begitu saja hanya karena pesan dari pria itu. Seketika jemariku bergerak menulis pesan balasan.

'Tidak perlu, Pak. Uang yang Bapak berikan kemarin masih ada sisa. Saya tidak akan menangis hanya karena ayam receh.'

Aku menambahkan emoticon wajah sebal sambil menjulurkan lidah. Tanpa pikir panjang aku langsung klik tombol kirim. Oh, tidak. Setelah kupikir-pikir, rasanya tidak sopan memberikan emoticon macam itu pada Pak Bram yang tak lain adalah majikanku. Tanganku kembali bergerak menekan chatku yang tadi kukirim, aku berniat menariknya lagi. Ah, tapi Pak Bram sudah terlanjur membacanya. Sejak tadi dia memang online. Percuma juga kalau aku menghapus chatku itu.

Dia sedang mengetik! Dia sedang mengetik!

Ulala! Astaga, dia mau bilang apa lagi, ya? Apa dia mau marah-marah karena emoticon yang kuberikan? Bisa saja dia menganggap aku ini tidak tahu sopan santun. Bisa jadi dia juga akan mengeluarkan peraturan barunya, tapi mungkin tidak. Pak Bram, kan, masih marah padaku gara-gara nama Santi kemarin.

Si Tukang Suruh-Suruh >> Begitu, ya? Saya pikir sekarang kamu lagi menangisi kepergian saya.

Bilang apa, nih, si tukang suruh-suruh? Apa tidak salah? Bagiku dia seseorang yang cukup serius untuk menulis pesan begitu, apalagi tambahan emoticon yang menunjukkan seringai lebar. Oh, jadi dia mau mengejekku, ya? Apa dia sudah gila? Apa dia sudah tidak marah lagi padaku soal kejadian kemarin?Cepat sekali mood-nya berubah. Saking tidak percayanya, aku sampai membaca chat itu berulang-ulang. Yah, mungkin suasana hati Pak Bram sedang baik sekarang.

'Ya, saya juga merindukan Bapak. Cepatlah kembali.'

Aku bingung harus menjawab apa, jadi aku membalasnya dengan asal. Lagipula, aku memang ingin Pak Bram segera kembali. Aku takut sendirian di apartemen ini.

Cukup lama Pak Bram tidak membalas pesanku, padahal dia masih online. Apa yang sedang dilihatnya? Mengetik, tidak, apalagi membalas pesanku, bahkan chatku saja belum dibaca.

Tunggu!

Tadi aku tulis apa, ya? Kenapa Pak Bram tidak membalas lagi?

Aku meraih ponsel yang tadi sempat kuletakkan di nakas. Menghidupkan layarnya lagi dan langsung membuka aplikasi WhatsApp.

Oh, tidak! Tidak! Tidak! Uh, apa yang kutulis tadi? Aku memukuli kepalaku sendiri sambil mengumpat kesal. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku malah bilang merindukannya dan menginginkan dia cepat kembali? Belum lagi aku juga menambahkan emoticon wajah berseri-seri. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Pesannya tidak bisa dihapus karena sudah lebih dari lima menit!

Si Tukang Suruh-Suruh >> Oh ya? Mengesankan. Saya pikir kamu tidak menyukai saya dan hanya anggap saya tukan nyuruh-nyuruh saja.

Ada tambahan emoticon wajah melongo dalam chatnya. Ya ampun! Ini sungguh memalukan! Jantungku seperti mau melompat gila. Kenapa aku merasa dia bisa membaca pikiranku? Dia bahkan bisa menduga kalau aku hanya menganggapnya tukang suruh-suruh.

Si Tukang Suruh-Suruh >> Sudah cukup basa-basinya. Jangan banyak berkhayal dan cepat beli ayamnya sebelum saya pulang!

Dasar Bramasta gila! Yah, setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia tidak terlalu serius menanggapi chatku tadi, dan bagaimana pun juga ... dia tetaplah si tukang suruh-suruh yang kerjaannya selalu menyuruhku di mana pun dia berada!

'Iya, Pak, saya jalan sekarang.'

Beberapa menit kemudian Pak Bram mengetik lagi.

Si Tukang Suruh-Suruh >> Ayamnya jangan terlalu pedas. Jangan lupa tambahkan tanda tangan dan cap stempelnya sebelum diserahkan ke bagian personalia. Saya akan ambil ayam panggangnya besok pagi di ruang direksi.

OMG! Apa-apaan ini? Kenapa jawabannya jadi tidak nyambung begini? Apa maksudnya tanda tangan dan stempel? Apa aku harus bawa ayamnya ke bagian personalia tempat dia bekerja? Bisa jadi dia mengantuk dan salah ketik, atau ... dia memang tidak sengaja bicara ngelantur. Entahlah.

'Maaf, Pak. Saya tidak mengerti.'

Pesanku sudah dibaca, tapi Pak Bram sudah tidak online lagi. Ada apa, sih, sebenarnya? Apa aku terlalu bodoh untuk mencerna kata-katanya? Siapa yang salah di sini? Kenapa dia yang mengabaikan pesanku? Tak lama kemudian ponselku kembali berbunyi.

Si Tukang Suruh-Suruh >> Mohon maaf, Bramasta sedang kehabisan baterai sekarang. Silakan tunggu sampai Bramasta mendapatkan tempat untuk charging. Terima kasih.

Hah, pesan otomatis, pakai ditambahi emoticon wajah menyesal segala lagi! Dasar, Bramasta gila! Aku nyaris kesal, tapi saat membaca kembali chat kami dari awal, aku benar-benar tidak mampu menahan tawa. Aku pun bangkit dari ranjang, bersiap-siap pergi ke restoran itu lagi.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang