11. Kamar Pak Bram

5.3K 176 0
                                    

Aku baru saja selesai menghidangkan makan siang di atas meja, dengan pikiran kacau, dan hati yang penuh luka, bahkan air mata pun jatuh tak tertahan lagi seperti tak mau berhenti meskipun aku tidak terisak.
.
Sebenarnya aku butuh seseorang untuk mencurahkan isi hatiku saat ini. Tapi, siapa? Orang tuaku sudah tiada, teman-temanku ... mungkin mereka oke-oke saja mendengarkannya, tapi aku tidak mau mereka tahu pekerjaan yang kujalani saat ini. Bagiku itu sangat memalukan. Pertemuanku dengan mereka sudah pasti menimbulkan pertanyaan mainstream, 'apa kamu sudah bekerja?', 'kerja di mana?', atau ... 'apa kamu sudah menikah?'. Menyebalkan! Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu membuatku muak dan menghindari pertemuan, bahkan obrolan dengan teman-temanku.
.
Yang bisa kulakukan saat ini, hanya duduk termenung dengan pandangan kosong. Pikiranku dipenuhi sosok Aditya. Kenapa dia tega berbuat begini padaku? Ya, baiklah. Aku memang tidak bisa memaksa keadaan dan mencoba merubah takdir. Tidak, aku tidak ingin begitu. Di satu sisi, aku memang senang bisa kembali melihatnya, tapi di sisi lain ... tidak bisa dipungkiri aku sangat-sangat menyesal bertemu dengannya hari ini, tentu saja karena kabar yang tak mengenakkan itu.
.
Ah, sudahlah. Rasa sakit ini hanya milikku seorang, karena dia pasti tidak peduli dengan perasaanku. Air mataku hanya akan terbuang sia-sia untuk seseorang yang tidak pernah mencintaiku.
.
Sudah jam dua siang, Pak Bram memintaku untuk membangunkannya. Aku bangkit berdiri dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka terlebih dahulu.

-oOo-

Tok ... tok ... tok ...
.
Aku sudah cukup lama berdiri di depan kamar Pak Bram, bahkan tak ada sahutan apa pun meski pintu sudah kuketuk beberapa kali.
.
Bagaimana ini? Apa aku harus masuk? Ah, aku tidak mau. Rasanya aku ingin beranjak pergi dan membiarkan Pak Bram terlelap lebih lama. Tapi, bagaimana kalau dia marah dan memecatku?
.
Aku mencoba mengetuk pintunya lagi, namun tetap tak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk masuk. Tanganku bergerak menyentu daun pintunya. Tunggu! Apakah dikunci?
.
Klek!
.
Terbuka. Aku melongok sedikit demi sedikit dari celah pintu yang terbuka. Ternyata ... pria itu masih terlelap di atas ranjangnya.
.
Ini kamar Pak Bram. Bersih dan rapi. Aroma maskulin yang biasanya hanya tercium dari kejauhan, kini aroma itu begitu kuat di keseluruhan ruangan yang didominasi warna putih ini. Sama seperti ruangan lainnya, tempat ini pun gelap, meski begitu aku masih bisa mengenali keadaan sekitarku.
.
Aku masih belum beranjak dari ambang pintu. "Permisi." Aku mengetuk pintu lagi, siapa tahu dengan keberadaanku di sini suaraku jadi lebih jelas terdengar.
.
Ah, percuma. Pak Bram bahkan sama sekali tidak menunjukkan respons apa pun, tidak bergerak.
.
Tidak bergerak! Jangan-jangan ...
.
Mendadak logikaku memikirkan berbagai hal negatif yang memungkinkan Pak Bram tidak sadarkan diri. Pingsan? Mati?
.
Spontan aku mempercepat langkah mendekat ke sisi ranjang. Sedikit panik, takut terjadi sesuatu. Cukup lama aku memperhatikan. Perasaan lega seketika melenyapkan kepanikanku, setelah menyadari napas teratur yang kudengar.
.
"Pak, sudah jam dua," aku berucap dengan hati-hati.
.
Oh, tetap tak ada respons. Astaga! Kalau dia bukan majikanku, sudah kusiram air dari tadi! Dia benar-benar menguji kesabaranku!
.
"Santi ... Santi ..." Tanpa sengaja aku mendengar Pak Bram menggumamkan sesuatu.
.
"Iya?" Sebenarnya aku tidak yakin apa dia memanggilku, tapi sepertinya bukan. Suaranya pelan dan tidak begitu jelas. Aku memutuskan mendekatkan kepalaku.
.
"Santi ..."
.
Ya, ternyata memang bukan aku yang dipanggilnya. Aku pun kembali menegakkan tubuhku. Pikiranku jadi ke mana-mana. Siapa itu Santi? Kenapa Pak Bram terus memanggil nama Santi? Apa Pak Bram menjalin hubungan dengan Santi? Hah, terserah sajalah. Mungkin sebaiknya aku pergi saja. Lagipula, sepertinya Pak Bram terlihat sangat lelah dan butuh tidur lebih lama lagi.
.
Astaga! Aku baru saja hendak melangkah ketika sebuah cengkeraman kuat melingkari pergelangan tanganku. Seketika aku kembali menoleh. Pak Bram, dia mulai membuka matanya, sedikit demi sedikit. Dia terus menatapku dengan sorot matanya yang kelam. Ini pertama kalinya dia menatapku begitu lama.
.
Selama beberapa saat aku membiarkannya dalam diam, tapi semakin lama situasi ini membuatku takut. Aku tidak mengerti kenapa dia terus memandangiku dan tidak segera mengatakan sesuatu. Ekspresi datarnya itu tidak menunjukkan amarah apalagi perasaan senang.
.
"Maaf, Pak, saya ..." Dengan hati-hati aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman sepihak Pak Bram. Tapi usahaku sia-sia saja. Aku hampir berhasil menjauh tapi ...
.
Bruukk!
.
Pak Bram justru menarikku sehingga aku jatuh tepat di atas tubuhnya. OMG! Apa-apaan, sih, pria ini? Ah, kenapa jantungku harus berdegup kencang begini, dengan napas yang memburu pula? Kenapa hal ini harus terjadi di saat pertama kali aku masuk ke kamar seorang pria? Kenapa harus posisi seperti ini?
.
Dia memelukku lebih erat, membawaku bangun bersamanya hingga kami duduk saling berhadapan. Begitu terlepas dari tangan Pak Bram, aku langsung bangkit berdiri. Sebenarnya aku ingin meluapkan amarah dan menampar wajahnya sekeras mungkin, tapi tentu saja itu tidak mungkin. Lagi-lagi, sadar posisi. Alhasil, aku hanya bisa menundukkan kepala. Menghirup napas dalam-dalam demi meredam emosi yang bergejolak naik.
.
"Maaf, tadi saya tidak sengaja menarikmu terlalu kencang," suaranya enteng. Sekilas Pak Bram terlihat tenang, duduk bersila dan menyangga kening dengan sebelah tangan. Tapi kalau diperhatikan lebih saksama, dia terlihat sangat menyembunyikan kegelisahannya, apalagi keringat dingin yang tadi sempat kurasakan, semakin memperkuat dugaanku. Mungkin ini ada hubungannya dengan Santi. Bisa jadi dia memimpikan kejadian buruk tentang Santi.
.
Mendadak semua amarahku lebur berganti rasa iba. Rupanya, di balik setiap sikap tenang yang Pak Bram tunjukkan menyimpan sebuah misteri yang membuatnya jadi gelisah bahkan takut jika rahasianya itu sampai diketahui orang lain. Ya, itu pasti. Tidak ada manusia yang bersedia mengakui kelemahannya tanpa keterpaksaan.
.
"Maaf kalau tadi saya menyakiti Bapak."
.
"Menyakiti?" Tanpa kusangka, Pak Bram langsung bergerak cepat dan menatapku dengan sorot geli yang begitu kentara. Tiba-tiba saja dia menyeringai lebar sebelum berpaling. Kenapa? Apa ada yang lucu?
.
Aku memilih diam.
.
"Kamu itu bodoh atau apa, sih?"
.
"Maksud Bapak apa?" Yaelah, ada apa lagi, sih? Sindiran apa yang akan dikatakannya kali ini? Sudah bagus aku dengan suka rela meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya tidak kulakukan.
.
"Saya pikir kamu akan langsung menampar saya tadi. Wajah kamu sudah merah padam." Dia memberi jeda sejenak. "Tapi kalau boleh jujur, sepertinya kamu lumayan juga kalau jadi teman tidur saya."
.
"Bapak jangan macam-macam, ya?! Bapak bisa dipenjara karena memperlakukan saya seenaknya!" karena emosi, nada suaraku pun jadi meninggi.
.
Pak Bram tertawa, meski hanya sebentar. "Oh ya? Sayangnya tidak ada bukti dan saya tidak pasang cctv di sini, dan—"
.
Plaakk!
.
Aku geram sekali! Tanganku sudah gatal untuk tidak menamparnya. Seketika wajah Pak Bram berpaling, pria itu kemudian memegangi pipinya yang memerah.
.
"Kamu beneran menampar saya?" Dia menatapku lagi, dengan wajah polos tanpa rasa bersalah. Dia bahkan tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali, seolah tamparanku tadi tidak terlalu berarti baginya.
.
"Berengsek! Pria tidak tahu malu!" teriakku. Aku melotot marah padanya, dengan napas memburu. "Saya memang cuma pembantu di sini, Pak, tapi bukan berarti Bapak bisa memperlakukan saya semaunya, dan saya tidak akan pernah jadi teman tidur Bapak, berapa pun yang Bapak berikan!"
.
Lagi-lagi Pak Bram menyeringai lebar, entah kenapa, membuatku heran.
.
"Bapak sudah gila, ya? Kenapa malah tertawa? A-apa ... apa Bapak tidak marah?" nada suaraku jadi semakin lemah. Ketika logika jernihku kembali, aku sadar seharusnya aku tidak bersikap begitu padanya. Astaga, harusnya aku lebih bersabar menghadapi pria yang satu ini. Bagaimana kalau aku dipecat?
.
"Tentu saja tidak. Tadi saya hanya bercanda." Dia mendongakkan kepala dan menatapku. "Apa kata-kata saya tadi keterlaluan?"
.
"I-itu—" Entahlah, aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
.
"Makanya, jangan sembarangan masuk ke kamar pria." Hah! Jangan masuk sembarangan, katanya? Kalau Pak Bram yang kuhormati ini mudah dibangunkan, aku juga tidak mau masuk ke kandang singa. Ups! Bukan, lebih tepatnya, singa berbulu domba. Di luarnya saja kelihatannya baik, tapi dalamnya penuh tipu muslihat, memperhatikan diam-diam dari kejauhan sebelum berlari kencang menerjang mangsanya. "Ya, karena sekarang saya sedang berbaik hati, saya akan melupakan kejadian tadi. Sayang juga kalau wanita secantik kamu harus jadi penghuni penjara."
.
"Apa? Di-di penjara?" Wah, gawat, nih. Kalau tidak pintar-pintar mengambil hati Pak Bram, bisa-bisa aku bakalan pindah ke penjara. Oh, astaga, aku tidak mau. "Tapi ini bukan kesalahan saya, Pak! Bukannya Bapak yang mulai duluan?" aku berusaha membela diri.
.
."Ya, tapi jangan lupa kalau kamu sudah melakkukan kekerasan fisik pada majikan. Saya bisa saja melakukan visum sekarang dan bekas tamparan kamu ini bisa jadi buktinya. Memangnya kamu tidak tahu soal Undang-Undang PRT ayat satu nomor satu dan dua?"
.
Apa? Dia menyebutkan Undang-Undang! Matilah aku!
.
"Peraturan yang pertama, majikan tidak pernah salah. Kedua, kalau majikan salah, lihat peraturan yang pertama," jelasnya dengan begitu bangga.
.
"Peraturan macam apa itu! Saya belum pernah mendengarnya, entah dari biro atau mana pun, dan itu sangat tidak adil bagi PRT!" protesku.
.
"Ya, tentu saja kamu tidak pernah mendengarnya. Saya yang membuatnya, dan kamu yang harus menjalankannya."
.
"Tidak bisa begitu, dong, Pak."
.
"Kenapa? Mau menyalahkan saya? Ingat, kalau saya salah, lihat peraturan yang pertama."
.
Astaga ... ampun, deh! Banyak amat, sih, maunya! Aku memutar mataku, sebal.
.
"Masih tidak terima?" dia bertanya lagi seolah menyadari rasa kesalku. Pak Bram beranjak dari kasurnya, kemudian melangkah mendekati lemari besar di sudut ruangan. Mau tidak mau pandanganku jadi mengikuti setiap langkahnya. "Saya tidak akan memaksa, silakan kalau mau angkat kaki dari sini."
.
"Tidak, Pak. Saya—"
.
"Saya sudah tahu apa jawaban kamu. Alasan klise, semua orang rela melakukan apa saja demi uang. Jujur saja, pembantu saya semuanya kabur karena tidak tahan menghadapi sikap saya. Hm, meski bukan cuma itu saja alasannya. Over all, saya suka semangat kerja kamu." Pak Bram berbalik memunggungiku dan membuka lemarinya.
.
"Terima kasih atas pujiannya, Pak. Saya pasti akan bertahan selagi saya masih bisa bersabar," kataku dengan jujur.
.
"Ya sudah, kamu boleh pergi."
.
"Oh ya, Pak, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan." Aku bermaksud ingin bertanya soal Santi.
.
"Nanti," dia menyahut tak peduli dan justru mengambil beberapa baju dari lemari gantung. Kemeja, Setelan jas, dasi, semua dia lempar ke kasur.
.
"Tapi, Pak—"
.
"Saya mau ganti baju dulu sebentar, atau ..." Tiba-tiba saja Pak Bram berbalik. OMG! Kancing kemeja cokelat yang dikenakannya sudah terlepas semuanya. Yah, dia memang pria yang tidak tahu malu. "Atau kamu mau menemani saya berganti baju?"
.
Halah, mulai lagi, deh. Ancamannya tidak bermutu. Aku menghela napas berat. "Saya permisi."

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang