27. Ular Berbisa?

4K 181 21
                                    

Saat hari sudah semakin sore, kami mengakhiri kencan pertama kami dengan duduk di tepi pantai, tanpa alas. Masing-masing dari kami terus menatap jauh pada luasnya pantai, memandang ombak lautan yang semakin menepi ditemani burung-burung camar yang berkicau riang silih berganti bermain diderunya air. Semilir angin yang lembut, membuat anak rambutku melanbai ke sana kemari. Ah, suasana pantai memang menenangkan.

Tempat ini tidak terlalu ramai, bahkan tergolong sepi untuk dikatakan sebagai tempat wisata. Tapi, wajar-wajar saja mengingat ini masih hari kerja, para muda-mudi pun sepertinya hanya melewatkan waktu kencan mereka di malam Minggu. Hanya segelintir orang saja yang lewat, ditambah hari mulai menggapai malam. Sengaja, Kak Bram mengajakku kemari untuk melihat sunset.

"Ran, sebenarnya aku tidak punya apa-apa di sini." Kak Bram mulai membuka pembicaraan.

"Maksudnya tidak punya apa-apa?" aku bertanya tak mengerti. Kalimatnya masih terasa ambigu.

"Apa kamu akan tetap tertarik padaku meskipun sebenarnya aku tidak punya apa-apa di sini?"

"Kalau yang dimaksud itu adalah materi, kurasa hal seperti itu tidak perlu ditanyakan lagi. Aku sudah terbiasa hidup sederhana," aku hanya menjawab ala kadarnya. Dia membuatku bingung, kenapa tiba-tiba dia bertanya begitu? Aku benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraannya.

"Apartemen berhantu itu, bisa dibilang hanya rumah dinas saja, bukan milikku yang sebenarnya. Begitu juga dengan mobil, dan semua fasilitas yang kugunakan saat ini, semua itu adalah akomodasi perusahaan atas pekerjaanku di sini."

Apa maksudnya? Dia selalu saja membuat otakku dipenuhi tanda tanya tentangnya. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? Apa dia mau bilang, sebenarnya dia seorang pria miskin, begitu?

"Memang apa masalahnya? Hm, mendengar ceritamu tadi pagi, sepertinya keadaan finansial ayahmu cukup bagus. Kenapa tidak minta bantuan padanya saja? Bagaimana pun kamu tetap anaknya, dan aku yakin dia pasti akan membantumu."

"Tidak, bukan itu masalahnya." Dia menoleh padaku sehingga membuatku refleks menatapnya juga. Dia sudah melepaskan kacamata hitamnya sejak kami hanya berdua saja di pantai ini, jadi aku bisa melihat sorot matanya dengan jelas. "Seperti yang kubilang tadi, aku bukan Warga Negara Indonesia, dan aku sudah tidak ingin berurusan lagi dengan ayahku."

"Jadi, kamu serius? Kamu bukan WNI?"

"Ya. Bisa dibilang hidupku memang cukup beruntung. Karirku cukup bagus di perusahaan Singapura itu. Saat masih kuliah S1, aku hanya magang di sana, kemudian aku diangkat sebagai staff tetap setelah empat tahun. Mungkin karena aku totalitas menjalankan pekerjaanku sebagai konsultan analisis bisnis, aku diangkat sebagai salah satu manajer di divisi itu, tapi jabatan itu hanya bisa kudapatkan jika aku mau pindah kewarganegaraan. Sebenarnya aku tidak mau, kupikir kalau seperti itu orang-orang pasti akan mengatakan aku sudah mengkhianati negara kelahiranku. Tapi, di sisi lain aku juga sudah muak hidup di Jakarta, diawasi ayahku dari jauh, dia punya banyak mata-mata. Jadi aku memutuskan pindah kewarganegaraan dan menetap di Singapura, bekerja di kantor pusat dari perusahaan itu, hingga pada akhirnya aku diangkat sebagai general manager di usiaku yang ke-30."

"Oh, wow! Hebat! Hanya dalam waktu dua belas tahun kamu bisa mencapai posisi itu!" tanpa sadar aku berucap penuh antusias. Aku memang sangat mengagumi tipe pria pekerja keras.

"Memang," singkat dan datar. Sungguh berbanding terbalik dengan nada suaraku tadi, seolah karirnya yang melejit itu bukanlah suatu hal yang membanggakan untuknya. Dia memalingkan pandangan, mendadak ekspresinya berubah kelam.

"Ada apa? Kelihatannya kamu tidak bahagia?" Aku menatapnya dengan perasaan sedikit menyesal. "Hm, apa tadi aku salah bicara?"

"Tentu saja tidak. Aku hanya kesal, karena di balik peningkatan karirku, ada Monsieur Alfons."

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang