19. Proposal Pernikahan

4.6K 210 4
                                    

Sentuhan lembut di pipi memaksaku untuk segera bangun dari ketidaksadaran yang entah sudah berapa lama. Benakku terus bertanya, siapa yang mengelusi pipiku sedari tadi?

Dengan usaha keras pada akhirnya aku bisa membuka mata, walau perlahan. Saat ini, aku sudah terbaring di atas ranjang. Logikaku berputar cepat berusaha mengingat apa yang sudah terjadi.

Perlahan tapi pasti, aku mulai mengingat semuanya.

Pak Tugiyo ... sudah meninggal. Fakta itulah yang pertama kali menancap dalam ingatanku. Tubuhku makin lemas saat mengingatnya, membuat pandanganku kabur dan Aku masih tidak bisa mendengar apa-apa.

Kejadian semalam sungguh mengguncang psikisku. Ya Tuhan, benarkah tua renta itu sudah meninggal tiga bulan yang lalu? Aku ingin berusaha menenangkan diri, mencoba berpikir positif dan menganggap perkataan Pak Bram tadi hanyalah untuk menakut-nakutiku saja.

Tidak. Aku tidak bisa. Sayangnya ... hati dan pikiranku sudah terlanjur memercayai kata-kata Pak Bram. Aku syok berat. Kenapa ini harus terjadi padaku? Kenapa ada berbagai macam kejadian aneh menghantuiku di sini? Apa salahku?

"Rany."

Panggilan itu, aku baru sadar rupanya aku tidak hanya sendirian saja di sini. Suara berat itu bagai hentakan keras yang membuat mataku terbuka lebar, menyadarkan seluruh jiwa ragaku sepenuhnya.

"Apa kamu bisa mendengar suara saya?"

Dengan susah payah aku memaksakan diri menoleh ke samping. Mendapati sosok Pak Bram duduk di sofa tunggal yang sengaja ditarik mendekati sisi ranjang yang kutempati. Sejak kapan pria itu duduk di sana dan terus mengamatiku begitu?

Bramasta. Dalam hati aku menggumamkan nama lengkapnya. Ingin sekali rasanya aku tersenyum dan mengatakan jika aku baik-baik saja. Aku tidak menyangka dia akan menampilkan ekspresi khawatir yang membuatku tidak tega melihatnya. Sudah pasti dia yang membawaku ke atas ranjang, dan yang menyentuh pipiku tadi ... apakah dia juga yang melakukannya? Bahkan, saat aku jatuh pingsan tadi, sedikit-banyak aku masih bisa menyadari pria ini memelukku begitu erat sehingga aku bisa merasakan irama detak jantungnya yang indah.

"Apa kamu baik-baik saja? Mau ke dokter?" tanyanya kemudian.

Dia tak juga memalingkan pandangan dariku. Aku sudah lelah beradu pandang dengannya, jadi aku memilih memutus kontak dengannya dan berpaling. Aku sedang tidak ingin bicara sekarang.

"Mau minum?"

Aku tetap membisu. Aku sadar betul dia terus memperhatikanku. Risih sebenarnya, aku ingin sendiri, apalagi kami hanya berdua saja di dalam kamar membuatku tidak bisa tenang.

"Semalam, jam setengah sembilan. Kamu ke mana? Kenapa kamu tidak angkat telepon saya? Dia kembali bicara setelah beberapa saat hening.

Semalam dia telepon? Aku ingat, semalam ponselku aktif dan baterainya pun penuh, kuota dan pulsa juga masih ada. Tapi tidak ada notifikasi chat apalagi panggilan masuk. Setengah sembilan, waktu itu pasti aku sedang bersama Pak Tugiyo.

"Sebenarnya saya ingin kasih tahu kamu supaya jangan membukakan pintu untuk siapa pun tamu yang menekan bel apartemen ini. Setiap Selasa malam menjelang setengah sembilan, bel pintu memang akan terus berbunyi selama tiga puluh menit berturut-turut, karena saat itu adalah waktu kematian Pak Tugiyo tiga bulan yang lalu."

Mendengar perkataan Pak Bram barusan membuatku mematung seketika. Jantungku seperti berhenti berdetak, napasku pun tertahan. Benarkah itu? Benarkah semua yang dikatakan Pak Bram?

"Saya pribadi belum pernah bertemu dengan arwahnya. Orang-orang yang sering berlalu lalang di sekitar sini yang memberitahu saya, bahkan beberapa orang pernah melihat sosok pria tua itu. Mereka bilang, sekilas dia terlihat seperti lelaki tua biasa, tapi tatapan membunuh dan seringai lebarnya memberikan ancaman tersirat yang membuat mereka langsung berlari ketakutan, dan—" sepertinya Pak Bram sengaja memotong kalimatnya dan kembali memperhatikanku sejenak.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang