28. Undangan Pernikahan

3.3K 168 9
                                    

BAGIAN II

Aku mendengar suara ketukan pelan di pintu kamarku ketika jam hampir menunjukkan pukul delapan malam. Itu pasti Kak Bram. Seharian ini aku terus mengkhawatirkannya karena dia tak kunjung pulang. Apa dia makan tepat waktu? Apa dia bisa menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak? Apa saja yang dia lakukan di luar sana? Dia tak memberi kabar pula. Tanganku bahkan sudah terangkat hendak meneleponnya, tapi niat itu belum sempat tersampaikan.

"Ran, boleh aku masuk?" Aku mendengar suaranya dari luar.

Dengan penuh antusias aku turun dari ranjang dan membukakan pintu untuknya. Barangkali dia sedang membutuhkan sesuatu. Meski status kami berpacaran, aku masih merasa kontrak kerjaku sebagai pembantu belum selesai. Yah, tidak juga sebenarnya. Perlakuannya padaku bahkan lebih dari sekadar pacar, perhatiannya seringkali membuatku terbawa perasaan.

Sosoknya terpampang nyata begitu pintu terbuka lebar. Penampilannya ... aku hanya bisa diam terpaku, penuh tanda tanya dan diliputi perasaan bingung saat mendapati dirinya terlihat kacau dan berantakan. Pakaiannya kusut. Dasi yang dikenakannya sudah tidak rapi lagi karena tiga kancing atas kemejanya terbuka. Rambutnya pun terlihat acak-acakan. Selama hampir sebulan mengenalnya, belum pernah aku melihat penampilannya seburuk ini. Dari mana dia? Aku takut dia stress—entah karena masalah apa, pergi ke bar dan minum-minum. Tapi, kurasa dia bukan tipe orang macam itu.

"Aku ... sudah siapkan makan malam, di meja makan," aku berucap gugup demi membuka percakapan lebih dulu. Aku bingung, tidak tahu harus berkata apa. Dia terus menatapku dalam diam.

Aku takut ditatap seperti itu. Ada apa dengannya? Sejak semalam tingkahnya jadi aneh begini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah dia sedang ada masalah?

"Kamu ... dari mana? Kenapa jadi begini?" dengan perasaan takut-takut aku memberanikan diri bertanya dengan suara pelan. "Katakan kalau ada masalah. Jangan diam saja."

Dia menyunggingkan senyuman samar yang tak biasa. "Kamu mengkhawatirkanku?"

"A-aku ..." aku bingung dan tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.

"Kupikir tidak," dia langsung memotong dengan nada suara datar.

"Kenapa kamu bicara begitu? Itu tidak benar." Dahiku jadi berkerut dalam, aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba sikapnya jadi aneh begini.

Dia melebarkan senyuman yang terasa ironi. "Sudahlah, aku tahu di hati dan pikiranmu bukan untukku."

"Bram! Apa yang kurasa tidak seperti yang kamu pikirkan."

Bagai petir yang menyambar secara tiba-tiba. Aku lemas seketika, tak pernah kuduga kalimat itu akan kudengar secepat ini darinya. Dia benar-benar menyadari hal itu sekarang, tidak, mungkin sejak lama, apalagi air mataku memang sering jatuh untuk pria lain.

Ini pertama kali aku memanggil namanya, hanya namanya saja. Aku ingin menegaskan bahwa hubungan kami memang sudah cukup jauh, apalagi dia sudah beberapa kali melamarku. Aku ingin tunjukkan, aku sedang berusaha lebih dekat dengannya, berusaha menerima dan mencintainya, meskipun diriku belum bisa sepenuhnya move on dari Aditya.

Dia mengembuskan napas lelah. "Hari ini, pekerjaanku kacau. Tidak sesuai target. Selama dua belas tahun karirku, aku tidak pernah begini. Aku tidak pernah jadi seburuk ini ... hanya gara-gara seorang wanita." Mendadak sorot matanya menajam, wajah vampir itu kembali terlihat menakutkan malam ini. Meski begitu, aku sangat-sangat tahu dia marah bukan karena membenciku. Apakah dia ... cemburu?

Apa maksudnya? Apa ... sebenarnya dia akan mengatakan bahwa dia jadi seburuk ini karena diriku? Memang apa salahku? Kedua mataku langsung berkaca-kaca, hati ini terasa sangat sesak mendengar kalimatnya. Aku merasa sudah memberikan dampak buruk untuknya.

Setelah diam beberapa lama, tangannya terulur meraih lenganku, menarik dan memaksa tubuhku menubruk dadanya yang bidang. Dia membuatku terjebak dalam rengkuhannya, lagi. Dia tampak kelam, pelukannya pun terasa begitu posesif dengan kepala yang dia tumpukan di pundakku.

"Kalau terus seperti ini, cinta bisa membunuhku secara perlahan," ucapnya setengah berbisik. Dia pasti sangat terluka, dan aku tidak menyangka hal itu diakibatkan karena diriku.

Apa yang bisa kulakukan untuk menghibur lukanya?

"Kamu sudah membuatku jadi begini. Jadi, apakah salah jika aku memintamu bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diriku saat ini?"

"Bram—"

"Tolong biarkan aku tetap seperti ini, sebentar saja," katanya lagi.

Apakah ini benar-benar salahku? Sebegitu egoisnyakah diriku hingga membuat pria sempurna ini rela menjalin hubungan dengan Santi demi mendapatkan pengganti diriku?

Aku hanya bisa balas memeluknya, menepuk pelan punggungnya demi bisa menyalurkan kekuatan walau aku tahu itu tidaklah seberapa. Aku membiarkannya terus memelukku, meski napasku mulai terasa sesak. Tak apa, aku masih bisa menahannya. Setidaknya dengan begini aku bisa sedikit melenyapkan luka di hatinya.

"Sudah jam delapan. Apa kamu tidak berniat pergi ke pernikahannya?" tanyaku kemudian.

"Tidak akan. Aku sedang tidak ingin melihat wajah tua bangka itu, dan senyum palsu si berengsek itu."

"Bagaimana pun juga, dia tetap ayahmu, dan pria yang sedang berdiri di pelaminan itu adalah adikmu." Aku memang tidak tahu apa yang telah terjadi antara Kak Bram dan keluarganya, tapi aku ingin dia tetap menyempatkan waktu ke pernikahan Aditya meski hanya beberapa menit saja.

Dengan malas, pada akhirnya Kak Bram melepaskan pelukan dan menegakkan tubuhnya kembali. Lagi-lagi, dia hanya fokus menatapku dalam diam selama beberapa saat.

"Aku sudah putuskan tidak akan berhubungan lagi dengan mereka," sahutnya dengan ketus. Dia kemudian berbalik hendak melangkah pergi.

Tadinya aku ingin membiarkannya, tapi tidak setelah kurasakan pundakku sedikit basah. Aku menyentuhnya, tempat di mana Kak Bram menyandarkan kepala. Ada sedikit linangan air di sana. Dia ... menangis? Untukku? Demi diriku? Sungguh tidak bisa kupercaya, sepanjang masa hidupku akan ada seorang pria yang mencintaiku dengan tulus dan bersedia mengeluarkan air matanya demi diriku.

"Mereka tetaplah keluargamu," aku berusaha meyakinkannya. Namun rupanya dia tak ingin peduli. "Bramasta!" Aku menyusul langkahnya, menggenggam erat pergelangan tangannya agar dia tak pergi lebih jauh.

Oh, tidak. Aku tahu dia pasti terkejut dengan tingkahku. Benar saja, dia menatap wajahku dan genggamanku secara bergantian sebelum kembali menghujam mataku dengan tatapan tak percaya.

Biasanya, dia yang maju duluan. Baiklah, kali ini biar aku yang mendekatinya lebih dulu. Dengan gerakan cepat aku sedikit berjinjit, memberikan kecupan singkat di pipinya. Ah, malu sebenarnya. Benar-benar malu, tapi kalau aku diberi kesempatan untuk mengulang wwaktu, aku juga akan tetap melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi kuakui itu gerakan spontan yang sulit kucegah.

Aha! Ekspresi Kak Bram langsung berubah kaku. Pria itu diam membeku seperti patung. Andai tidak sedang dalam keadaan seperti ini, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Mengetahui reputasinya yang sering dikerubungi banyak wanita, bukankah seharusnya cium pipi seperti itu sudah biasa dia dapatkan? Kenapa dia harus seterkejut itu?

"Aku akan menemanimu pergi ke sana." Setelah mengatakan itu, aku berusaha menampilkan senyuman semanis mungkin untuknya. Aku harus cepat-cepat pergi sebelum percaya diri tingkat Dewaku musnah karena perasaan gengsi yang terlalu tinggi. Aku pun melangkah pergi membiarkan Kak Bram diam terpana di tempatnya. Di tengah langkah, aku terus merutuki diriku sendiri.

Ah, bodoh! Aku pasti akan menyesali perbuatanku tadi!

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang