Ketika hendak membuka pintu kamar, langkahku dicegat suara bel pintu yang menggema keras di depan sana. Tubuhku mendadak langsung lemas, tidak kusangka pertanda kehadiran Pak Tugiyo waktu itu masih menyimpan trauma yang membekas begitu dalam di jiwaku.
Ini masih pagi, kan? Lagipula ini juga bukan hari Selasa.
Aku mencoba berpikiran positif. Meski sedikit ragu, aku berusaha memantapkan langkah menuju pintu.
Ada gambar seorang pria di layar monitor. Aku memperhatikannya saksama, sepertinya aku kenal siapa dia. Tanpa pikir panjang aku langsung membukakan pintu.
"Aditya?" Sosok yang kukenali itu, ternyata memang benar dia.
"Ra-rany? Kenapa kamu ada di sini?" Aku tidak mengerti kenapa dia sampai terbata begitu, tapi ekspresi terkejutnya begitu kentara di mataku. "Bukannya ini apartemen Bram?"
Kedatangannya kemari tentu tidak membuatku terkejut, bisa jadi dia ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan dengan Pak Bram. Tapi kalau dia melihatku di sini ... wajar saja dia terkejut karena aku tidak pernah menceritakan soal pekerjaanku.
"Iya, sebenarnya di sini aku cuma—"
"Jadi sekarang kamu hamil dua bulan? Anaknya Bram?"
"Apa? Hamil? Maksud kamu apa?" aku nyaris membentak, tidak menyangka dia akan bertanya begitu.
Aku benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Aditya. Tadinya aku ingin mengakui jika aku hanya pembantu di sini, tidak kusangka dia justru menanyakan sesuatu di luar ekspektasiku.
Oh, tidak! Gosip yang dia ceritakan waktu itu! Jangan-jangan dia salah paham dan mengira aku ini istri Pak Bram.
"Mau apa kamu ke sini?" suara Pak Bram menggema di belakangku. Langkahnya semakin dekat, dan tak lama dia sudah berdiri di sampingku. Perhatian Aditya pun seketika beralih padanya.
"Jadi gosip yang beredar di kantormu itu benar?" Aditya tampak memberi sorot tajam pada lawan bicaranya.
"Soal apa?"
"Jangan pura-pura tidak tahu kamu, Bram! Apa saja yang sudah kamu katakan pada Monsieur Alfons? Kapan kamu menikahi Rany? Aku benar-benar tidak menyangka, jadi ini yang kamu lakukan di belakangku, hah!"
Aku jadi dibuat bingung dengan pembicaraan Aditya. Apa maksudnya? Aku heran, kenapa Aditya memanggil nama Pak Bram begitu saja tanpa embel-embel apa pun? Usia mereka, kan, beda enam tahun? Seharusnya Aditya bisa menjaga sikap sopan santunnya pada orang yang lebih tua, apalagi mereka adalah sesama rekan kerja. Dan lagi, apa hubungannya dengan Monsieur Alfons? Siapa dia? Kenapa aku jadi disangkutpautkan? Memangnya apa yang dilakukan Pak Bram di belakang Aditya? Kenapa Aditya terlihat sangat marah? Ada apa sebenarnya? Aku benar-benar tidak mengerti.
Tiba-tiba saja Pak Bram menoleh menatapku membuatku sedikit terkejut. "Ran, buatkan teh untuk tamu kita."
"I-iya, Pak." Aku tahu Pak Bram mengusirku secara halus, meski begitu aku memutuskan untuk menurut saja dan melangkah pergi.
"Jangan bicara yang macam-macam, dia tidak tahu apa-apa," samar-samar aku masih mendengar suara Pak Bram yang lantang.
Aditya mendengus sebal. "Aku tahu kamu pasti berbohong."
"Dan aku tidak suka dimata-matai. Aku tahu Alfons si tua bangka itu teman ayah, kan? Hah! Tidak kusangka, ternyata mata-mata ayah justru adikku sendiri. Pantas saja, ke mana pun aku pergi ayah selalu bisa menemukanku, bahkan sehari setelah Santi meninggal pun dia datang kemari, menunjukkan perhatian palsunya padaku. Pasti kamu yang memberitahunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Jadi Cinta (Terbit)
RomanceREADY STOCK @90k Untuk pemesanan bisa WA : 085877790464 Cover : @marudesign Genre : romance-horror Siapa bilang pembantu itu tidak berpendidikan. Tidak semuanya begitu, dan tidak semua pembantu punya kelas rendahan. Aku misalnya. Kini aku...