05. Kamar yang Lain

6K 216 0
                                    

Aku berusaha secepat mungkin menyiapkan makan malam. Di kalangan teman-temanku, aku dikenal sebagai Calon Emak Perfect. Memasak adalah keahlianku. Bahan-bahan yang sederhana bisa jadi menu baru yang luar biasa, dijamin puas.
.
Hanya butuh sentuhan terakhir, dan ...  selesai.
.
Aku berdiri tak jauh dari sisi meja. Tersenyum manis menantikan pujian dari Pak Bram, tapi ...
.
"Kamu mau meracuni saya?" nada sarkastik itu kembali kudengar dari suara berat Pak Bram. Lagi-lagi tanpa menatapku.
.
So what, gitu loh!
.
Apa yang barusan dikatakan pria ini? Apa dia sedang bercanda?
.
"M-maksud Bapak apa, ya?"
.
"Semua makanan ini terlalu asin."
.
"Itu tidak mungkin, saya sudah memastikannya, Pak," aku berusaha membela diri.
.
Yang benar saja, tadi aku sudah mencicipi semua masakan yang kubuat.
.
"Dengar, saya tidak suka dibantah," suara datarnya menggema di telingaku.
.
"Tapi, Pak ..."
.
Pak Bram tak memedulikanku dan justru bangkit berdiri. Untuk sekadar menatapku saja seakan enggan dilakukannya. "Percuma saja saya menunggu di sini sejak tadi. Membuang waktu saja. Tahu begini saya harusnya memesan makanan di luar yang lebih terjamin."
.
"Tapi saya tidak-"
.
"Bereskan saja semuanya. Kamu boleh istirahat." Tanpa menunggu responsku Pak Bram langsung meninggalkan ruangan.
.
Apa yang salah dengan masakanku?
.
Aku mengambil sendok dan mencicip untuk yang kedua kalinya semua menu yang kubuat.
.
Enak.
.
Tidak ada masalah dengan masakanku.
.
Mendadak mataku memanas. Hati ini sangat-sangat sakit.  Pak Bram pasti hanya mengada-ada saja. Tapi kenapa? Apa salahku?
.
Aku harus kuat. Aku harus kuat.
.
Aku berusaha memotivasi diri. Menahan dalam-dalam rasa sakitku agar air mataku tidak keluar. Selagi Pak Bram belum memecatku, aku akan bertahan di sini. Aku tidak mungkin mengandalkan egoku untuk meninggalkan gaji tinggiku.
.
Dengan lesu, aku menjatuhkan diri ke kursi dan memakan semua masakan yang seharusnya untuk Pak Bram.

***

Aku sudah menyelesaikan semua tugasku. Membersihkan ruang makan dan mencuci piring.
.
Aku melangkah menuju kamarku. Tapi ... suara apa itu? Tiba-tiba saja aku mendengar suara itu lagi. Suara seorang wanita yang sedang menangis, dan kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya.
.
Aku mengikuti ke mana asal suara itu. Semakin dekat, dan lebih dekat. Suara itu, ternyata berasal dari ...
.
Sebuah kamar.
.
Kamar itu tepat berada di depan kamarku. Aku menempelkan telinga di pintunya untuk memastikan. Suara itu terdengar jelas. Apakah ada seorang wanita di dalam sana? Siapa? Kenapa dia tidak keluar kamar seharian ini?
.
Aku mengetuk pintunyj beberapa kali. "Permisi."
.
Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. Mungkin saja dia istri Pak Bram. Bisa jadi mereka sedang bertengkar. Aku ingin sekali membantunya.
.
Karena tak ada tanggapan apa pun, tanganku bergerak menyentuh daun pintu itu dan berniat membukanya.
.
Klek!
.
Terbuka. Aku sedang berusaha mengintip dari celah itu, dan ...
.
"Rany!"
.
Bentakan keras itu membuatku terlonjak kaget. Seketika aku menoleh dan mendapati tatapan tajam Pak Bram tertuju padaku.
.
Ada apa? Kenapa dia terlihat sangat marah?
.
"Apa yang kamu lakukan?!"
.
"Maaf, Pak, saya tidak bermaksud lancang-"
.
"Saya tidak suruh kamu membuka kamar itu!"
.
"Tapi tadi saya mendengar ada suara-"
.
"Tidak ada apa-apa di sana!" Pak Bram mendekat ke arahku, dengan gerakan cepat pria itu membanting pintu dengan keras hingga tertutup kembali.
.
Seketika aku tersentak, suara keras itu membuatku takut. Ya Tuhan, sebegitu besarkah kesalahanku di mata Pak Bram sampai aku diperlakukan seperti ini?
.
"Sekali lagi kamu membuka kamar itu, kamu saya pecat!"
.
Mataku sudah sempurna menampung air. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan perasaanku yang memang sudah terluka sedari tadi.
.
"Maafkan saya, Pak," dengan beruraian air mata, aku berusaha menahan isak tangis.
.
"K-kamu ..." Aku tidak tahu kenapa Pak Bram jadi terbata, seperti dia baru saja mendapati sesuatu yang cukup mengejutkan baginya.
..
Aku tidak bisa berpikir jernih lagi, aku kalut, dan sejujurnya aku sangat malu menangis di depan seorang pria. "Permisi, Pak." Aku pun memutuskan berlari pergi dan mengurung diri di dalam kamarku, menangisi nasib burukku menjadi seorang pembantu.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang