18. Fakta yang Sebenarnya

4.3K 175 4
                                    

"Tolong ambilkan saya air putih." Pak Bram masih batuk-batuk parah.

"I-iya, Pak."

Buru-buru aku menuju dapur dan mengambilkan segelas air putih sebelum kembali menghampiri Pak Bram. "Ini, Pak." Aku menyodorkan gelas yang kubawa dan Pak Bram langsung menerimanya.

Melihat Pak Bram yang begitu kepayahan, lama-lama rasa iba itu benar-benar melingkupi perasaanku.

"Tolong pukul punggung saya, cepat!" ucapnya sambil batuk-batuk lagi.

"Iya, Pak."

Aku menurut. Melangkah lebih dekat dan mulai memberi pukulan-pukulan kecil dengan genggaman tanganku ke punggung pria itu, hingga pada akhirnya tulang ayam berukuran sekitar tiga sampai lima senti itu berhasil dikeluarkan.

Pak Bram meminum airnya lagi. Napasnya sesak, wajahnya pun memucat. Mau tak mau aku jadi mengkhawatirkannya.

"Apa Bapak baik-baik saja? Perlu panggil dokter?"

"Tidak perlu." Sorot matanya langsung sayu. Astaga, aku menyesal sudah menyumpahinya tadi. Pak Bram benar-benar kesakitan.

"Pukulan kamu tidak terasa sama sekali," komentarnya dengan nada suara dingin. Aku memutar bola mata, sebal. Saat sakit saja masih sempat-sempatnya mengomentari pukulanku.

"Maaf, Pak, saya tidak tega kalau mau memukul dengan keras."

"Ya sudahlah. Selera makan saya jadi hilang, tenggorokan saya sakit. Kalau seperti ini terus, kamu bisa membuat saya gila seperti—"

"Seperti Erlangga?" Entah kenapa nama asing itu meluncur begitu saja dari bibirku. Mendadak aku jadi teringat semua perkataan Pak Tugiyo semalam.

Seketika Pak Bram menoleh ke arahku. Aku terkejut sekali saat tatapan tajam itu menghujamku, seperti menembus jiwaku yang paling dalam. Kenapa dia begitu? Apa aku salah bicara lagi?

"Siapa nama yang kamu sebut tadi?" ada sedikit penekanan pada suaranya yang datar.

"Bukankah, bukankah Erlangga masuk rumah sakit jiwa karena ..." Aku jadi ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Karena apa?" Dia jadi semakin menusukku dengan kalimat sinisnya.

"Ka-karena ... Bapak," suaraku melemah dan langsung menundukkan kepala. Aku takut ditatap seperti itu.

Brraakk!

Gebrakan Pak Bram di meja makan membuatku terperanjat kaget. Ini pertama kalinya Pak Bram benar-benar marah padaku, bahkan pria itu sampai memukul meja, suaranya yang beradu dengan berbagai macam benda di atas meja menggema di mana-mana membuatku semakin gemetaran. Perlahan aku mundur menjauhi Pak Bram yang sudah bangkit berdiri. Ya Tuhan, ada apa lagi sekarang?

"Dari mana kamu tahu nama itu?! Bagaimana kamu tahu dia ada di rumah sakit jiwa?!" Pak Bram nyaris membentakku. Aura dinginnya begitu mencolok, aku sungguh tidak berani menatapnya.

"Da-dari ..."

"Dengar, saya paling tidak suka kamu mencampuri urusan pribadi saya!" kini penekanan dalam suara datar nan berat itu begitu kentara. "Sekali lagi kamu begitu, kamu saya pecat!" Setelah berkata begitu, Pak Bram melangkah pergi menjauhi ruang makan.

Tanpa sadar air mataku jatuh begitu saja. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Aku hanya ingin tahu kebenaranya. Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri masalah pribadi Pak Bram.

Aku tidak mau kesalahpahaman ini terus berlanjut, aku harus mengatakan apa yang terjadi semuanya, bahwa aku mengetahui tentang Erlangga karena Pak Tugiyo yang sudah menceritakannya. Aku pun berlari mengejar langkah cepat Pak Bram.

Pembantu Jadi Cinta (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang