Rava beltizan

950 45 7
                                    

"Ayo kita beli peralatan sekolah. Sekalian dinner di luar."

"Iya, Ma," ujar seorang cowok dengan penampilan urak-urakan. Tetapi tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari game.

"Tanya kakakmu itu. Dia mau ikut atau di rumah aja." Wanita berusia 50 tahunan itu berkacak pinggang. "Buruan ganti baju, Rava! Kaya gembel kamu pake baju itu."

"Ckkk. Iya-iya." Rava –nama cowok itu– beranjak dari sofa menuju lantai atas. Ia berhenti di salah satu pintu kamar.

"Heh Tarisa, ikut gak lo?" teriak Rava di depan pintu berwarna pink.

"Iya gue ikut!" Tarisa menyahut dari dalam kamar.

"Buruan, lo kalo ganti baju lama!" Rava menendang pintu pink itu.

"Gak ada sopan-sopannya lo jadi adek!" teriak Tarisa. Rava tak memperdulikan teriakan kakak medusanya itu. Ia tetap berjalan ke ruangan paling ujung.

*--*

"Yang itu jelek warnanya, Ma."

"Masa? Mama suka warnanya, keluaran terbaru dari merk ini."

"Ih, Mama. Yang bagus warna peach, nih sesuai sama kulit Mama."

Rempong amat sih jadi cewek, batin Rava.

"Ma, aku ke bagian sana. Kalian lanjut aja debatnya."

Rava melihat buku-buku yang berjajar. Yang paling menarik perhatiannya adalah buku rumus fisika. Ia mengambil buku yang sudah terbuka kemudian melihat isinya.

"Tebel amat bukunya." Rava melihat harga buku tersebut. "Anjir, gue gak ada duit ternyata."

"Ini buku apa ya?" celetuk seorang gadis yang memperhatikan bagian cover buku.

"Wah, isinya kebanyakan angka. Gak jadi ambil deh." ujar gadis itu dengan polosnya. Ia beranjak ke bagian lain dan mengambil novel dari penulis favoritnya. Ia melompat kecil saat melihat novel terbaru sudah berada di tangannya.

Rava melirik gadis di sebelahnya. Penampilannya sih oke, tapi kulit yang seperti mayat, serta rambut yang berwarna putih membuatnya terlihat seperti kuntilanak berambut putih. Rava bergidik ngeri melihatnya.

"Kok gue penasaran ya? Gue ikutin dia aja deh, siapa tau kecantol sama gue."

"Udah ngilang aja, njir." Rava balik ke tempat buku tadi.

"Ngapain lo?" tanya Tarisa begitu sampai di tempat Rava.

"Gak liat gue lagi ngapain?" ketus Rava yang mengembalikan buku yang ia pegang.

"Tadi gue liat lo ngikutin cewek. Mau ngapain lo?"

"Gue penasaran. Itu orang atau kuntilanak abis ke salon. Putih bener."

"Dia itu albino, goblok. Warna alis sama bulu matanya beda dari orang normal. Punya mata tuh dipake. Punya adek kok gak ada pinternya."

"Ya mana gue tau. Gue gak liat mukanya." Rava mendengkus kesal. "Ngegas amat. Gak guna lo jadi kakak."

"Gak usah banyak bacot. Ayo, Mama nyuruh ke restoran."

*--*

Rava melihat daftar menu restoran cepat saji tersebut. Dengan sedikit argumen dengan kakaknya, akhirnya ia mengalah untuk mengantri memesan makanan.

"Inget pesanan gue ya! Salah dikit gue patahin tulang lo." ujar Tarisa dengan senyuman penuh kemenangan.

"Ca, gak boleh gitu sama adeknya," tegur wanita itu.

"Sesekali punya adek bisa diperintah gini kan enak dilihat." Tarisa tertawa melihat wajah bete adiknya.

"Awas aja lo." ucap Rava dengan ketusnya. Ia mengacungkan jari tengah pada Tarisa.

"Rava, sopan sedikit sama kakaknya." Mamanya kembali menegur.

"Gue taruhan lima puluh ribu, lo bakalan kicep pas tau mantan lagi jalan sama pacar barunya." Giliran Rava yang tersenyum penuh kemenangan diselingi dengan senyum sinis.

"Adek durhaka lo! Sana pesan makanannya." Tarisa mengibaskan tangan —menyuruh Rava pergi dari hadapannya.

"Atas nama siapa?" tanya seorang pelayan.

"Rava Beltizan, meja nomor 15."

"Baiklah, pesanan akan diantar 5 menit lagi," ujar pelayan itu.

"Itu si kuntilanak berambut putih bukan?"

Rava bergumam. Berdiam cukup lama hingga...

"Eh maaf, aku gak sengaja." Gadis itu meminta maaf. Rava memerhatikan wajah orang tersebut. Ia melihat iris mata gadis itu. Ungu tanpa bantuan softlens.

Mata Tarisa tajam juga, batin Rava.

"Lo albino? Tapi tetep cantik kok. Nama lo siapa?" tanya Rava yang sudah sangat penasaran.

"A-aku Syahnaz, tolong kamu lepasin tangan aku, sakit." rintih gadis tersebut.

Syahnaz? Gue pernah denger namanya, batin Rava.

"Oke, maaf udah nyakitin tangan lo. Senang bertemu dengan lo." Rava mengacak rambut Syahnaz dan membuatnya terlihat kesal.

"Gue harap bisa ketemu lo lagi. Atau mungkin jadi penyelamat lo nanti."

"See you, beautiful angel."

*--*

Tarisa mengacak jambul kesayangan adiknya. Menjadi sebuah kebiasaannya  mengganggu Rava hingga kesal.

"Lo apaan sih Medusa! Ganggu aja daritadi, aduh." Tarisa semakin menjadi. Sekarang ia menjambak jambul itu.

"Heh gablak! Nanti rambut gue rontok! Awas lo." Rava menepis tangan Tarisa.

Tak habis akal, Tarisa mengunyel-unyel telinga adiknya. "Gue denger-denger info nih. Sekolah lo bakalan ada murid albino. Mungkin cewek tadi ya murid baru itu." Ia kembali mengganggu ketenangan Rava.

"KUPING GUE MAU COPOT MEDUSA!"

"Tapi kayaknya dia bakalan di-bully di sekolah lo itu. Tau sendiri kan anak-anak situ kampungan semua. Kayak lo."

"Itu sekolah lo juga pinter."

"Iya juga."

"Bodoh."

"Lo lebih bodoh dari gue."

"Pokoknya anak baru itu masuk lo harus jagain dia," ujar Tarisa.

"Ogah gue. Lo aja sono." ketus Rava diselingi dengkusan.

Tarisa menjitak kepala adik durhakanya. "Gue udah kelas duabelas. Nurut dikit kek jadi adek!"

"Nanti gue pikir-pikir lagi. Awas lo, gue mau ke kamar."

Tarisa menggelengkan kepala tanda tidak mau. Ia masih mau tiduran di paha adiknya. Rava yang sudah kesal setengah idup langsung berdiri dari duduknya dan Tarisa pun terjatuh dari sofa. Rava langsung ngacir ke lantai dua setelah puas membalas kakaknya.

"ADEK SIALAN LO!"

----------

ALBINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang