ALBINO || Bagian 29

182 8 2
                                    

"Bangun Aya! Susah banget sih dibangunin!" Syahnaz menggoyangkan tubuh Dasha yang masih tertidur pulas di kasurnya. "Kamu mau sekolah nggak sih!?"

Dasha menepis tangan Syahnaz yang menyiksa tubuhnya. Nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul membuat Dasha hanya merengek dari balik selimut.

"BANGUN WOI!"

"Ini hari Minggu bodoh! Ganggu gue aja!" Dasha menyibak selimut yang menutupi kepalanya lalu menatap tajam Syahnaz. "Pergi lo!"

"Dih tamu nggak tahu diri." Setelah mengucapkan kalimat itu Syahnaz melebarkan langkah keluar dari kamar.

Muka Syahnaz merengut sambil mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Bahkan Syahnaz tidak mengucapkan selamat pagi pada Liana yang masih membuatkan sarapan mereka.

"Kamu kenapa?" Liana melirik Syahnaz. Wanita itu mematikan kompor lalu melepaskan celemek yang hinggap di tubuhnya. Liana duduk di samping Syahnaz yang masih merengut.

"Kenapa Bunda ngasih dia nginep sini sih. Aku kan jadi repot." Syahnaz menyembunyikan wajah di atas lipatan tangan. "Aku berubah pikiran! Bunda nggak boleh adopsi anak lagi!"

Syahnaz memukul-mukul kepalanya. "Bisa gila aku lama-lama sama dia. Aku mau pergi ke minimarket dulu." Syahnaz berlari mengambil hoodie berwarna biru pastel dan memakai celana panjang. Lalu berjalan sendirian di trotoar.

"Masih pagi gini udaranya seger banget. Ah jadi keinget sama Rava. Lagi apa ya dia?" Syahnaz berbicara dengan diri sendiri. Seseorang memegang bahu Syahnaz dan membuat sang gadis terkejut. Syahnaz melihat siapa yang mengganggunya pagi ini. "Loh kak Rendra? Kok bisa ada di sini?"

Rendra hanya melengkungkan bibir ke atas. Mencoba menampilkan pesonanya pada Syahnaz. Ingin melihat apakah gadis itu tertarik atau tidak padanya. Syahnaz melambaikan tangannya di depan wajah Rendra untuk mengambil fokus lelaki itu yang sempat meleng.

"Kak? Masih pagi loh, kak, kok udah melamun aja?" Syahnaz masih melambaikan tangan. Tiba-tiba saja dering ponsel Syahnaz memberitahu adanya panggilan yang tertuju padanya. Dengan sigap Rendra menahan tangan Syahnaz agar tidak mengambil ponselnya yang disimpan di saku hoodie. "Bentar dulu kak. Aku mau liat siapa yang nelepon."

"Kamu mau ke minimarket kan? Saya anterin kamu ya?" tanya Rendra, namun ada nada memaksa yang tersirat. "Saya juga ada keperluan di dekat situ."

"Tapi..."

"Ayo kita jalan!" Rendra menarik paksa Syahnaz agar mengikuti langkahnya. Rahang lelaki itu mengeras seperti lagi menahan amarah. Persis seperti Rava yang sedang emosi.

"Halo? Rava, kamu ada di mana?" Rendra mengambil paksa ponsel Syahnaz, tentunya panggilan tersebut belum diputuskan. "Apa sih kak!? Pacar aku lagi nelepon tau!"

Rendra melempar ponsel kesayangan Syahnaz ke sembarang arah. Menciptakan suara yang membuat Syahnaz kaget sambil memelotot. Ekspresi wajah Syahnaz berubah ketika Rendra menginjak ponselnya.

"KAMU APAAN SIH? HAPE KESAYANGAN AKU KENAPA KAMU RUSAKIN?" Syahnaz memungut ponsel yang layarnya sudah tidak mulus lagi. Banyak retakan yang tersebar di layar ponselnya itu. Syahnaz menangis sejadinya karena tak bisa menjaga pemberian pertama Ayah dan Bundanya.

"Rae kamu masih bisa dengar aku di sini, nggak? Kalo kamu dengar buruan lari ke tempat tujuan kamu, aku nunggu kamu di tempat itu."

Syahnaz memasukkan ponselnya lalu berlari secepatnya sesuai dengan perintah kekasihnya. Napas gadis itu mulai tersenggal-senggal karena ia tidak pernah lari seperti ini. Sesekali dia melihat ke belakang. Rendra mengikutinya dengan kecepatan yang hampir sama dengannya. Beruntung jalanan pagi itu tidak ramai sehingga Syahnaz bisa menyebrang tanpa adanya pengendara yang menyerampahinya. Syahnaz yang merasa takut masih menangis. Hingga tanpa sadar Syahnaz sudah menabrak Rava yang berdiri di parkiran minimarket itu.

"It's okay, Rae. Jangan nangis lagi," ucap Rava yang berusaha menenangkan gadisnya. Rava membawa Syahnaz menuju mobil yang terparkir di sebelah toko tersebut. Mengunci pintu mobil agar tidak ada yang menyusup masuk selain mereka. "Please."

"Nih aku udah beliin kamu es krim sama thai tea. Aku harap ini bisa balikin mood kamu." Rava meletakan barang tersebut di pangkuan Syahnaz. Lalu tangannya bergerak mengusap air mata yang masih tumpah dari asalnya. Mengecup kedua bola mata Syahnaz agar gadisnya itu berhenti menangis. "Hape kamu kayak gimana bentuknya? Masih bisa diperbaiki, nggak?"

"Huhuuuhu, hapeku udah retak layarnya. Barang kesayanganku udah rusak, Ravaaa." Syahnaz memperlihatkan ponselnya yang sudah buruk rupa. Retak, lecet, hingga ada yang terkelupas di dekat kameranya.

"Gapapa, Rae. Bunda Liana nggak bakal marah kok." Rava tersenyum melihat Syahnaz menangisi kepergian barang rose gold kesayangannya. "Cupcupcup, udahan ya nangisnya."

Rava melajukan mobilnya. Membelah jalan raya yang mulai padat kendaraan. Ia akan membawa gadisnya ke suatu tempat yang mungkin bisa membuatnya tersenyum kembali.

*--*

"Arggh sialan! Gue selalu kehilangan jejak perempuan itu! Tinggal sedikit lagi rencana gue berhasil bangsat!" Rendra memaki dirinya yang tidak becus dalam mengejar Syahnaz. Ia terduduk di salah satu kursi taman di dekat persimpangan jalan.

"Ghana! Jangan mancing emosi gue lagi!" Dasha menjambak rambut lelaki yang menjahilinya dengan cara menaburi dedaunan kering di atas rambut putihnya. Membuat rambutnya terlihat kotor. "Rambut gue kotor bego! Lo nggak bisa ngertiin gue sekali aja! Rambut gue warnanya putih bukan item kayak punya lo!"

Rendra tertarik untuk melihat gadis yang mempunyai kesamaan dengan Syahnaz. Namun hanya rambutnya saja yang berwarna putih, bagian lainnya tidak sama dengan gadis yang diincarnya.

"Eh ada om-om jalan ke sini," bisik Ghana pada Dasha. Lalu Dasha menoleh ke belakang. Mata lelaki itu... sepertinya Dasha pernah melihatnya. Jangan-jangan, dia seseorang yang bekerja di agensi model tempat Syahnaz!

"Kabur! Ayo Ghana kita lari!" Dasha meraih tangan Ghana dan berlari meninggalkan pria itu di taman. Napas Dasha tersenggal-senggal karena mereka terus lari tanpa menetapkan tujuan. Juga Rendra yang masih mengikutinya di belakang.

Gubrak

Dasha terjatuh dan lututnya berdarah. Ghana yang melihatnya membantu Dasha untuk berdiri. Menyuruhnya untuk naik ke punggung Ghana. Namun gerakan mereka kurang cepat. Rendra sudah mencekal tangan Dasha lalu menariknya.

"Sakit bodoh!" Dasha menampar pipi Rendra yang menariknya sesuka hati. Mata Dasha menatap nyalang lelaki yang berbeda delapan tahun darinya. "Lo ngapain ngejar gue? Nggak suka sama permintaan Mama gue? Kalau nggak suka jangan begini!"

Rendra menyipitkan mata. Mengingat siapa nama gadis kurang ajar di depannya ini. Lelaki itu mendekatkan wajah Dasha untuk melihatnya lebih jelas. Matanya agak membesar begitu tahu gadis ini adalah calon model di agensinya.

"Kamu Dasha? Dasha Cindaya?" Rendra kembali bersikap normal. Mengingat Ibu dari gadis ini adalah model ternama di negara ini maupun negara seberang. "Anak dari Nyonya Resty?"

Dasha berdecak sebal melihat perubahan sikap dari lelaki -yang menurutnya tua- ini. Bahkan gadis tersebut ingin pergi lagi dari lelaki itu. Namun tangannya kembali dicekal. Lelaki itu mengajaknya untuk ikut dengannya ke mobil yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka. Meninggalkan Ghana yang melongo melihat kepergian mereka.

"Sudah lama tidak bertemu," ucap Rendra bernada sendu. Membuat Dasha bingung harus bersikap apa dengan lelaki yang baru ditemuinya hari ini.

--------

ALBINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang