"Ampun, Ma. Aku janji nggak bakal keluar lagi." Seorang gadis berusia sekitar enam tahun berlutut dihadapan wanita yang menatapnya geram. Berkali-kali tamparan mendarat di pipi sang gadis kecil. Anak tersebut terus menangis memohon ampun.
"Maaf, Mama." Isak tangis mulai menggelegar saat gadis itu diseret ke kamarnya. Ia menjerit meminta pertolongan pada kakaknya yang hanya melihatnya disiksa sedemikian kejamnya, senyum penuh kemenangan terbit di bibir kakaknya. Sang kakak sangat senang melihat penyiksaan tersebut. Bahkan ia tertawa saat saudaranya menangis meminta pengampunan pada mamanya.
"MAMA, JANGAN RANTAI AKU LAGI. AKU NGGAK MAU! NGGAK MAU!" Gadis itu berteriak histeris, menambah kebisingan di ruangan kecil tersebut. Suara tangis dan suara cambukan memenuhi ruangan itu, hingga cairan kental berwarna merah mulai terlihat saat gadis kecil itu dicambuk untuk kesekian kalinya. Dengan keadaan yang sangat lemah, ia memegang kaki mamanya, mencoba meminta maaf karena perbuatan yang tidak sepenuhnya salah dia. Namun wanita tersebut malah meninggalkannya di ruangan kecil -yang mungkin lebih cocok dibilang sebagai gudang- bersama satu anak perempuan yang sejak tadi hanya melihat saudaranya disiksa. Orang tersebut tertawa melihat kondisi mengerikan saudaranya.
"MAMA," teriak Syahnaz yang terbangun dari tidurnya. Napasnya tersenggal-senggal. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Syahnaz menatap jam dinding di kamarnya. Jarum menunjukkan pukul 02:47.
"Lo lemah. Bisa hidup sampai sekarang saja lo harus ngandalin gue. Hidup lo sangat menyedihkan, bukan?"
Syahnaz mengusap kasar wajahnya. Suara bisikan itu memekakan telinganya. Ia melempar gelas kaca dari meja, menghasilkan bunyi yang mampu membuat orang terkejut di tengah malam seperti ini. Syahnaz menarik rambutnya, seraya berteriak nyaring di kamarnya. Ia menangis karena suara itu tak kunjung hilang dari telinganya.
"Pergi! Pergi!" Syahnaz kembali melempar barang dari meja samping ranjangnya.
Kegaduhan itu membuat Ryan dan Liana segera berlari menuju kamar Syahnaz berada. Betapa terkejutnya mereka saat Syahnaz sudah mengobrak-abrik semua barang yang ada di kamarnya, kecuali foto masa kecil dirinya. Luka-luka di tangannya terus mengeluarkan banyak darah bahkan sampai menetes ke lantai. Syahnaz meringkuk di sofa kamar dengan memeluk erat fotonya tersebut, ia menangis sesegukan sambil merapalkan sederet kalimat yang memilukan.
"Aku mau mati aja. Mau mati! Aku nggak mau hidup lagi! AKU MAU MATI!!" Syahnaz semakin histeris ketika Liana mencoba menyentuhnya. Ryan menggendong anak gadisnya, memindahkannya dari sofa ke kasur, ia harus berhati-hati karena pecahan beling bertebaran di kamar tersebut. Syahnaz meracau tak jelas sambil mengusap fotonya.
"Ryan, dimana kamu taruh obat penenang itu? Syahnaz udah nggak bisa jauh dari obat itu!" Liana mencari obat yang dimaksud di laci lemari pakaian milik Syahnaz. Ibu dari sang anak gadis itu menahan tangis melihat kondisi anaknya yang sangat kacau.
"Mama."
"Yana, Syahnaz pingsan!" Ryan menepuk pipi Syahnaz. Wajah anaknya terlihat sangat pucat. Ia berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar kamar dengan Syahnaz yang berada dalam gendongannya. Liana yang melihat hal tersebut mengikuti suaminya, tujuannya ke garasi. Mereka akan pergi ke Rumah Sakit ternama di Singapura sekarang. Demi kesehatan anaknya.
*--*
Cyntia menghela napas. Ia selalu melirik bangku sebelahnya. Syahnaz tidak masuk sekolah selama tiga hari ini. Entah kemana perginya anak itu. Syahnaz bahkan tidak memberitahunya, padahal ini hari Sabtu, mereka sudah janjian untuk menginap di rumah albino tersebut.
"Lo kemana sih, Syahnaz. Nyebelin banget! Gue jadi ngerasa sepi nggak ada omelan dia." Cyntia buang muka ke jendela, menatap kegiatan di lapangan sekolahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALBINO
Teen FictionDunia akan menjadi baik jika lo tetap bersama gue. *--* Kisah gadis albino yang belum berdamai dengan masa lalu. Menyebabkan dirinya takut untuk terbuka dengan sekitar. Namun, hari itu. Hari pertama ia masuk SMA Oxigar. Ia perlahan mulai melawan ras...