-
hyunjin tidak menyangka tangisan seungmin akan berlangsung lebih dari satu jam.
kehangatan yang disalurkan dari pelukan mereka memang nyaman dan menyenangkan, tapi pundak hyunjin ternyata merasa pegal juga lantaran seungmin tidak mau melepaskan kepala serta cengkeramannya pada kedua bahu kokoh itu.
entah setan mana yang merasuki si mahasiswa galak-dan-susah-didekati itu, tapi untungnya hyunjin dapat bersyukur karena akhirnya isakan seungmin berhenti pada pukul tiga kurang lima belas menit.
sejujurnya hyunjin juga tidak begitu mengerti apa yang harus dilakukan untuk membuat orang yang sedang bersedih merasa lebih baik. yang ia tahu, kedua kakinya bergerak menuju sofa dan seungmin tidak berniat untuk jauh-jauh darinya.
saat hyunjin mendudukkan diri di ruang tengah, secara otomatis seungmin mengikuti gesturnya. bocah itu bahkan mempersempit spasi diantara mereka, bergerak sedekat mungkin dengan hyunjin dan jika saja si pemuda hwang tidak segera berdiri--karena panik akan sikap seungmin yang mendadak berubah--mungkin koala jadi-jadian ini sudah melekatkan diri padanya lagi.
"kamu nggak lapar?" tanya hyunjin kemudian, tatapannya bergerak kemana-mana selain seungmin karena kecanggungan yang menyerbu secara tiba-tiba.
seungmin--yang akal sehatnya kemungkinan sudah terbang entah kemana--berpikir sebentar, untuk kemudian mengangguk dua kali tanpa kata--tidak mempercayai suaranya sendiri setelah menangis hampir selama dua jam.
hyunjin pun melontar senyum kecil, menengok dapur sekilas sebelum menatap seungmin lagi.
"saya masakin dulu ya."
sepertinya di apartemen ini bukan hanya seungmin yang kehilangan akal sehat, karena nyatanya hyunjin juga merasa sedikit gila lantaran tengah menawarkan diri untuk memasak pada pukul tiga pagi kendati yang ia tahu hanya merebus mi instan dan menuang sereal.
otak hyunjin masih sibuk berputar saat ia merajut langkah menuju dapur, memikirkan apa yang harus ia buat tanpa menghanguskan apapun. ia menaikkan lengan piyama hijaunya, membuka kulkas dengan nol ekspektasi bahwa seungmin akan mengekorinya.
"oh shit--" pekik hyunjin, terkejut setengah mati ketika mendapati seungmin tengah menatapnya dari jarak yang dekat dengan mata lebar yang masih sembab. "kamu ngapain?!"
kini giliran hyunjin yang merasa personal space-nya mulai diinvasi. ia memandang balik seungmin tidak percaya, dalam hati menerka-nerka kemana perginya kim seungmin yang membuat peraturan untuk tidak saling mengobrol di dalam apartemen beberapa hari lalu.
"ng," gumam seungmin tidak yakin, netranya bergulir kesana-kemari. "m-mau lihat bapak masak apa."
hyunjin menghela napas, masih dengan kadar kebingungan yang tinggi.
"kamu tunggu aja di sana, nggak apa-apa. nyalain aja tv-nya kalo bosen." ucap hyunjin, hampir merasa seperti seorang duda yang tengah membujuk anak tunggalnya yang masih kecil untuk tidak mengganggu kegiatannya.
nyatanya seungmin menolak untuk menurut. ia menggeleng, menekuk lehernya ke bawah dan berujar lirih.
"saya nggak ganggu, kok."
malam itu penuh misteri, bisa hyunjin bilang. entah kebiasaan seungmin setelah menangis atau jiwanya yang tengah ditukar dengan seorang anak yang duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, hyunjin tidak yakin.
ia pikir seungmin akan pergi ke kamarnya setelah selesai makan--hyunjin bilang ia yang akan mencuci piringnya. tapi sekali lagi, alih-alih melenggang tidak peduli seperti biasa, seungmin justru kembali mengikuti langkahnya. kemanapun.
"heh, kamu mau ngapain?" pekik hyunjin untuk yang kesekian kali, saat seungmin berdiri di depan pintu kamarnya saat ia akan masuk.
seungmin tampak sedikit tersentak oleh seruan hyunjin. ia menatap pintu kamar hyunjin ragu.
"ng, bapak mau tidur?"
"ya iyalah. sekarang udah jam empat, saya harus ngajar jam tujuh pagi." jawab hyunjin, setengah sewot karena merasa sudah dipermainkan oleh mahasiswanya sendiri.
kenapa juga ia harus menenangkan seungmin saat ia menangis, membuatkannya makanan pagi-pagi buta, dan mencucikan piringnya? padahal jika dipikir-pikir, total sikap baik yang sudah seungmin berikan padanya hingga hari ini adalah nol.
"o-oh, y-ya udah, pak. saya--"
"okay then, good night." potong hyunjin untuk kemudian menutup pintu kamarnya tanpa permisi.
seungmin yang merasa ditinggalkan pun mematung, menatap kosong ke depannya dengan mata lebar, namun kemudian bahunya turun setelah beberapa saat.
si bocah kim menoleh pelan-pelan, mengintip sedikit pemandangan hujan dan petir di luar jendela dengan takut.
"tck, sialan. kenapa harus ada petir sih." keluhnya, menyadari bahwa ia sedang tidak dalam posisi yang tepat untuk memanggil sunwoo ataupun felix--dua orang terdekatnya selama ini--ke apartemennya.
dengan lesu, seungmin mengambil langkah cepat ke kamarnya. laki-laki itu melesat ke dalam selimut tebalnya, berusaha keras mengabaikan suara petir di luar sembari menatap layar ponsel untuk mencari kontak siapapun yang sekiranya dapat ia mintai tolong menemaninya di sini.
jika bisa dituliskan dalam sebuah daftar, mungkin petir adalah salah satu dari lima ketakutan terbesar seungmin. yang mana artinya, ego tinggi si bocah kim akan langsung turun begitu ia butuh orang untuk berada di sisinya selama masih ada suara petir di luar jendela.
seungmin tidak peduli jika hyunjin memandangnya aneh. satu-satunya alasan ia terus mengekor adalah karena ada gemuruh hebat dari langit yang terus mengusik ketenangannya. ia baru akan meminta tolong si dosen muda untuk menemaninya lagi hingga petir reda, tapi hyunjin sudah buru-buru menutup pintu kamarnya.
wajar saja, jika dipikir-pikir. karena seungmin sendiri sudah melakukan hal itu berkali-kali pada hyunjin.
"holy crap, jinyoung nih pasti kalo udah molor mana kedengeran ada yang nelfon." umpat seungmin, berusaha keras tidak berteriak dan menggedor pintu hyunjin saat suara petir semakin menggelegar.
benar saja apa yang dikatakan seungmin. jinyoung tidak mengangkat panggilannya bahkan setelah tujuh kali mencoba. seungmin sudah tidak punya ide harus memanggil siapa lagi. dua orangtuanya adalah pengecualian, gila namanya jika seungmin mengganggu tidur mereka dan membuatnya khawatir pada saat yang sama.
"god, please help me. udah dong petirnya, please please please."
mulut seungmin tidak berhenti komat-kamit mengujar--entah doa, entah umpatan--dan hampir saja menangis lagi saat sisi kasurnya bergerak.
seungmin bisa merasakan jantungnya hampir berhenti berdetak saking kagetnya, namun mendadak kembali tenang ketika tepukan lembut menghampiri ujung kepalanya disertai dengan suara yang terlampau familiar.
"kenapa nggak bilang aja, sih, kalo takut petir?"
serta merta seungmin menoleh, mendapati hyunjin dengan piyama hijaunya menyamankan diri di ranjang yang sama dengan posisi telentang namun salah satu tangan sibuk mengelus ujung kepala laki-laki di sebelah.
"udah, nggak usah takut lagi. saya temenin kamu tidur." lanjut hyunjin, matanya memejam. "merem sekarang, cepetan."
seolah mantra, seungmin yang masih setengah terkejut pun ikut menutup kelopak matanya, dan tanpa sadar terlelap lebih cepat dari yang ia kira.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙥𝙧𝙚𝙩𝙩𝙮 𝙥𝙖𝙥𝙚𝙧𝙬𝙤𝙧𝙠
Fanfictionmr. hwang is insufferably annoying and seungmin's never be able to get rid of it. ©2018