Jam pulang kantor sudah tiba. Hera masih setia duduk di depan laptopnya di lounge. Beberapa karyawan lainnya sudah berlalu-lalang menuju lift untuk turun ke bawah.
Melihat orang yang dicarinya masih asik dengan earphone di telinganya, Mbak Dina menghampiri Hera dan menepuk pundaknya. Hera menoleh sebentar dan membuka earphonenya. Kemudian memasang wajah bertanya.
"Ra, lo dicari Pak Bian, tuh." Mbak Dina yang sudah membawa tasnya beridiri di samping Hera.
"Ada apa, Mbak?" tanya Hera.
"Mana gue tau. Mending lo langsung aja ke ruangannya." saran Mbak Dina.
"Oh, oke." Hera pun mentup laptopnya dan langsung beranjak dari duduknya.
"Gue duluan, ya, Ra. Good luck!" Mbak Dina mengangkat kepalan tangan kanannya memberi semangat kepada Hera.
Hera berpikir dirinya akan kembali dibuat lembur dan ditahan di kantor karena kesalahannya tadi siang. Ia teledor karena lupa memberikan file ke ruang editing dan membuat Sabian harus memutar otak supaya program Hera bisa tetap tayang lusa dengan waktu editing yang sempit.
Hera melewati kubikelnya untuk menaruh laptopnya. Kubikelnya sudah sepi, begitu juga dengan kubikel program hiburan lainnya. Sepatu conversenya menemani langkahnya menuju ruangan Sabian.
Hera mengetuk pintu kaca ruangan Sabian dan langsung membukanya, "Permisi, Bapak nyari saya?" tanya Hera begitu mendapati Sabian sedang duduk di sofa.
Sabian menoleh dan tersenyum, "Masuk."
Hera pun langsung masuk dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Sabian.
"Soal tadi siang, saya minta maaf, ya, Pak. Maaf karena saya teledor." Hera akhirnya membuka suara, karena ia belum sempat meminta maaf kepada Sabian.
"Soal itu sudah saya maafkan. Tapi saya meminta kamu ke sini bukan untuk membicarakan hal itu." balas Sabian.
"Memangnya apa yang Bapak ingin bicarakan?" tanya Hera sambil menduga-diga dalam pikirannya.
"Kamu nikah sama saya, ya?" tanya Sabian dengan senyumnya sambil menggeserkan kotak cincin berwarna abu-abu ke hadapan Hera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through The City
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dengan segala kemandiriannya. Ia tak pernah mengerti rasanya berbagi kasih sayang, sampai seseorang menyadarkannya secara langsung. Di akhir, ia dihadapkan oleh pilihan yang sulit. Sabian Pratama dengan karisma yang digila...