Sehari sebelum Hera ke Semarang, Hera dan Sabian menyempatkan waktu mereka untuk pergi ke Bandung. Bersama Nia, mereka mengunjungi makam almarhum ayah Hera. Sampai di batu nisan bertuliskan Fahri Al-Rasyd Chamdan, mereka berjongkok dan berdoa.
"Halo, Ayah..." air mata Hera sudah tergenang, untuk pertama kalinya ia menyebut panggilan itu lagi.
"Maaf kalo Hera jarang ke sini. Hari ini Hera mau ngenalin calon suami Hera, namanya Sabian." titik demi titik air mata membasahi pipi Hera.
"Siang, Om. Saya izin untuk menikahi putri Om dua minggu lagi. Maaf saya baru sempat ke sini." ujar Sabian sambil mengelus pundak Hera yang ada di sampingnya.
Hera sibuk dalam pikirannya sambil menangis. Dirinya teringat mengapa dirinya bisa ada di titik ini. Walaupun dirinya perempuan, beban anak pertama tetap ada pada Hera. Ia punya semangat untuk memperbaiki ekonomi keluarganya, juga mencari cara untuk berterimakasih kepada orang-orang yang membantunya dapat menempuh pendidikan.
"Ayah, Hera pulang dulu." pamit Hera kemudian bangkit.
"You okay?" tanya Sabian ikut bangkit.
Hera mengangguk, mengusap air mata yang tersisa di pipinya. Menuju parkiran, tangan Sabian menggenggam tangan mungil milik Hera.
Di mobil, Nia mendapat telepon dari salah satu keluarga di Semarang. Sudah menjadi suatu kewajaran jika keluarga di Semarang akan heboh. Apalagi cucu pertama almarhumah Suharti akan menikah secara tiba-tiba. Jarum jatuh saja terdengar, itulah yang bisa menggambarkan keluarga besar Hera. Satu dengar, semua dengar.
"Kamu jangan kaget kalo ditanyain macem-macem sama keluarga besar aku nanti, ya." Hera memperingati Sabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through The City
Short Story[COMPLETED] Hera Anindhita dengan segala kemandiriannya. Ia tak pernah mengerti rasanya berbagi kasih sayang, sampai seseorang menyadarkannya secara langsung. Di akhir, ia dihadapkan oleh pilihan yang sulit. Sabian Pratama dengan karisma yang digila...