10. Bruises

2.1K 350 16
                                    

Jam silver di pergelangan tangan kiri Jung Illa menunjukkan pukul 11 siang saat ia memasuki taxi yang akan mengantarnya menuju sebuah cafe tempat ia akan bertemu dengan Joshua. Saat ditelpon tadi, Joshua langsung menyanggupi keinginan Illa untuk bertemu. Pria itu terdengar sangat antusias. Mungkin tidak menyangka kalau Illa akan menghubunginya terlebih dahulu.

Illa tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya butuh seseorang untuk bicara saat ini. Ayahnya sangat tidak mungkin. Jeonghan pun bukan orang yang tepat untuk mendengar keluh kesahnya. Karena pria itu adalah sumber masalahnya.

Saat masih di jalan, Joshua mengirim pesan padanya kalau ia sudah sampai di cafe. Tak lama kemudian, taxi berhenti perlahan di depan sebuah cafe dengan nuansa klasik. Illa membayar taxinya, kemudian turun. Ia merapatkan parka tebalnya saat angin berhembus. Seoul tengah diselimuti suhu 10 derajat celcius. Gadis itu berlari kecil masuk ke dalam cafe.

Illa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe. Ekor matanya lantas menangkap figur seorang pria tengah duduk di sudut, bersebelahan persis dengan dinding cafe yang didominasi warna coklat itu. Illa menghembuskan nafas. Entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa gugup. Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya ia berjalan mendekati pria di sudut sana.

Langkahnya terasa semakin ringan saat ia semakin dekat dengan meja di sudut itu. Hingga akhirnya ia duduk di hadapan pria dengan coat warna kelabu. Dan si pria membuka suara terlebih dahulu.

"Hi, Illa. I'm so happy to see you again."

Illa tersenyum tipis. Atau lebih tepatnya menyembunyikan rasa gugupnya yang menjadi-jadi. Joshua tidak banyak berubah setelah sekian lama. Mungkin hanya model rambutnya saja yang berbeda. Selebihnya tidak ada. Pria itu masih mempesona.

"Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu di tempat ini, Joshua." Jawab Illa.

"Tidak, tidak. Aku yang berterimakasih. Kupikir kau tidak mengingatku lagi setelah dari pesawat. Tapi ternyata aku salah."

Oh, yang benar saja? Bagaimana mungkin Illa melupakan sosok Joshua yang sampai sekarang masih membuat jantungnya berdebar kencang?

"Kau belum pesan minuman, Illa?" Tanya Joshua.

"Ah, aku lupa. Tunggu sebentar, ya."

Illa sudah akan beranjak saat tiba-tiba Joshua mencegahnya. Pria itu berdiri terlebih dahulu seraya berkata, "Biar aku pesankan. Kau ingin minum apa?"

"Capuccino hangat saja." Jawab Illa. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada Joshua.

Joshua tersenyum. Sebelum berlalu, ia sempat berujar pelan, "Ternyata minuman kesukaanmu tidak berubah, Illa."

Jung Illa hanya memandang Joshua yang kini memesankan minuman untuknya. Dulu, ada banyak alasan bagi Illa untuk jatuh cinta pada Joshua. Dan ini adalah salah satunya. Pria itu akan melakukan apapun untuknya. Bahkan tanpa diminta.

Meskipun pada akhirnya, Joshua meninggalkan sebuah luka menganga di permukaan hatinya. Illa tidak baik-baik saja saat itu. Namun empat tahun berselang, luka itu sudah mengering dan hilang. Empat tahun setelah ia berpisah dengan Joshua.

Kini, ia justru bertemu kembali si pembuat luka itu. Dan yang Illa benci adalah, hatinya masih terjatuh pada Joshua setiap kali mereka bertatap netra. Ia sudah berjanji pada dirinya tidak akan terluka lagi. Namun ia bisa apa? Di bagian hatinya yang lain masih tersisa sedikit ruang yang tidak sakit. Dan itu masih untuk Joshua. Illa tidak mau munafik.

"Maaf membuatmu menunggu." Ujar Joshua seraya membawa satu cup capuccino hangat dan beberapa potong roti di atas piring. Ia letakkan di meja yang ada di hadapan mereka.

[1] In Your Eyes 🍃 Yoon Jeonghan✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang