4. MAS FAWWAZ

462 62 3
                                    

"Lekha memang tidak salah untuk hal ini. Kamu sudah menerimanya bukan? Dia itu jodohmu." Ucap Nova yang sekarang sedang menatap kami berdua.

"Tapi bagaimana dengan mimpi mimpi kita, Lekha?" Tanya Naila yang tadi sedang sibuk memainkan ponselnya, kini menatapku dengan raut wajah kecewa. Melihat mereka berdua seperti ini aku sangat tidak tega, kuliah di Kairo adalah impian kami dari dulu.

"Tidak apa-apa jikalau kalian yang mengejar mimpi itu tanpaku, Nova, Naila. Aku juga ngga bisa melawan kehendak kedua orang tuaku," batinku, "doakan saja semoga suatu hari nanti, calon suamiku mengizinkan aku untuk pergi mengenyam pendidikan dan menyusul kalian ke Mesir," jawabku.

Tanpa sadar, air mata berlinang dan jatuh ke permukaan pipi. Sifat melankolisku sudah diketahui oleh mereka sebelumnya.

"Amin, ya, Allah. Hmmm, kok sedih sih? Sini, sini," Naila berdiri dan menyambutku hangat dengan pelukan manis.

"Amin, Allohuma amin. Kami selalu ada di sini untukmu, Nalekha," Nova menyusul kami yang sedang berpelukan. Kini, ada tiga orang sahabat yang sama-sama merangkul kasih persahabatan sepanjang masa.

"Sudah, sudah. Aku gak apa-apa, teman. Menikah juga artinya beribadah ini. Apa salahnya dengan kondisi menikah, aku tahu dia bisa membahagiakanku," ucapku optimis.

"Yang penting kita ke Mesir yeey! Alhamdulillah. Eh nanti aku juga menyusul menikah sepertimu, Lekha," teriak Naila.

"Yeh ... memang ada orang yang mau sama kamu, Naila? Yang kerjaannya teriak-teriak terus bisanya. Mana ada laki laki yang tahan sama si kakak speaker ini? Hahaha," canda Nova.

"Hmmm, kamu ini. Awas, ya, kalau ada aku gak akan ngundang kamu," ancam Naila.

"Haha! Sudah maaf pas pernikahan aku deh yang hiasin kalian" Nova dengan senyuman khasnya. Dia memang sahabat paling baik.

Begitulah jika tiga insan ini berkumpul, mereka sangat merindukan kebahagiaan dengan pesona sederhana yang mungkin tidak bisa lagi kembali.
***

Drrrt drrrt

Nalekha : Assalamualaikum Mas Fawwaz.
Fawwaz : Waalaikumsalam, Nalekha. Maaf, situasiku sekarang lagi mengganggumu, gak?
Nalekha : Enggak, Mas. Maafkan aku, ya, Mas soal tadi. Aku gak balas pesan dari kamu."
Fawwaz : Iya gapapa. Hmmm ... sekarang kamu lagi ada di mana? Bisa gak kalau kita hari ini ketemuan?
Nalekha : Aku lagi di rumah aja sih, Mas gak ngapa-ngapain. Ketemuan aja, yuk, tapi Mas yang izin ke mereka. Aku takut kalau minta izin sama Abi, takut gak dibolehin keluar.
Fawwaz : Iya, nanti aku telpon Abi kamu, ya. Mas kerja dulu. Nanti Mas jemput kamu di rumah. Assalamualaikum.
Nalekha : Siap, Mas. Waalaikumsalam.
Ya ampun, itu telepon dari Mas Fawwaz ternyata. Kok aku jadi deg degan begini, ya?

***

Dari depan rumah, aku telah memperhatikan calon suamiku sedang berjalan bersama seorang perempuan. Rupanya, ia tidak berjilbab dan mengenakan baju pendek. Asing sekali wajahnya ia di hadapanku. Atas dasar apa Mas Fawwaz membawa perempuan itu datang kemari?

"Assalamuaikum," sapa Fawwaz.
"Waalaikumsalam," jawabku. Wanita itu terus memandangi aku dengan pandangan tidak senang.

"Oh, ya. Maaf, Mas tidak mengatakan hal ini kepadamu jikalau Mas membawa temen," Fawwaz melanjutkan.

Aku menghela napasku sedikit, "Tidak apa apa, Mas. Lagian kita berdua juga belum muhrim."
"Muhrim? Oh kamu yang namanya Nalekha itu?" wanita itu tersentak dengan kata muhrim. Geramnya hatiku. Seketika itu aku hanya bisa mengangguk.

"Nalekha, perkenalkan ini Hawa. Dia asistenku di pabrik," ujar Fawwaz memperkenalkan Hawa sambil tersenyum. Otakku sedikit dingin saat ia memperkenalkan orang baru di hadapanku.

"Hawa." Ia mengulurkan tangan kanannya.
"Nalekha, Mbak," kataku sopan. Tak kalah aku pun juga memberikan tangan kananku untuk bersalaman dengannya.

"Ayo! Kita berangkat, Nalekha," Fawwaz menarik tanganku, sedangkan Hawa mengikuti kami dari belakang.

***

"Terserah Mas saja. Aku mendukung pilihan Mas Fawwaz," tuturku bingung ketika disuruh memilih cincin pernikahan yang elegan.

"Hei, Nalekha! Dari tadi kerjaan cuma bilang 'terserah Mas saja, terserah Mas saja', hargai Fawwaz dong! Dia pengennya kamu yang memilih cincin itu." Hawa sudah tidak sabar menunggu kami hanya mencari cincin. Bosan sudah menunggu terlalu lama.

"Tidak begitu maksud saya Nalekha, kamu yang memilih cincin pernikahan kita dan pilihkan untuk saya juga," ucap Fawwaz menengahi.

Aku menatap semua deretan cincin-cincin yang terpampang indah di dalam etalase. Kelihatannya cukup mahal, apa daya aku juga tidak mau menyusahkan Mas Fawwaz. Kemudian kedua mataku tertuju pada dua cincin yang berada satu kotak merah. Benda itu sangat menarik perhatianku. Mungkin inilah saatnya cincin itu khusus pasangan serasi seperti aku dan Mas Fawwaz..

"Baiklah, Mas. Tengoklah kedua cincin itu. Bagaimana menurutmu?" Nalekha menunjuk ke arah dua cincin yang dimaksud.

"Mbak ambilkan yang itu," perintah Mas Fawwaz pada pelayan toko. "Nanti kamu coba dulu, ya.

Kalau tidak cocok, kamu bisa mengganti cincinnya sesuai dengan ukuran jari kamu," katanya sambil tersenyum. Kemudian, ia melirik wajah Hawa, "Hmm ... oh iya, Hawa jam berapa kita meeting?" tanya Fawwaz.

"15 menit lagi Fawwaz. Kita harus segera kembali ke kantor!" sergap Hawa.

"Sebentar. Nalekha, maaf Mas harus pergi sekarang. Hari ini Mas ada meeting di pabrik. Kamu tidak apa, 'kan, Mas tinggal di sini? Ini kartu kredit untuk membayar kamu pegang," tutur Fawwaz.

Sebenarnya hatiku merasa kecewa. Aku tidak mengerti mengapa ia rela meninggalkan aku demi pekerjaannya, "Iya, Mas. Gapapa." Ada kesedihan dari raut wajahku setelah Fawwaz menjelaskan hal itu, tetapi aku juga tidak bisa menghalanginya. Dia juga harus bekerja untuk mempersiapkan pernikahan kami.

Bergegaslah mereka mulai meninggalkanku. Aku mulai berpikir, rasanya ada yang mengganjal di antara kami. Aku pun segera menarik lengan kanannya. Sontak, ia melihat jemari tangan kananku memegang sikut tangannya secara erat.

"Mas, assalamualaikum."
"Wa- waalaikumsalam," jawabnya sebelum melanjutkan perjalanannya kembali dengan asisten dan pergi meninggalkan aku.

***

"Ya, rabb. Izinkanlah perjodohan ini, entah aku ingin bersamanya." -Nalekha

"Dia begitu sempurna, aku tidak pantas seharusnya dengan semua kesalahanku bagaimana bila dia mengetahui yang sebenarnya." -Fawwaz

"Bodoh kamu, kamu memilih dia aku memang kesalahanmu. Tapi kamu harus menepati janjimu atau tidak aku akan melakukan apa pun untuk tujuanku." -Hawa

Nalekha [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang