3. CALON IMAM

492 68 2
                                    

_NALEKHA_

Nalekha
"Assalamualaikum calon imam,"

Sebelumnya, Mbak Azki banyak bercerita soal dia. Dia memberitahu pria yang akan melamarku itu bernama Fawwaz Abdillah, orang yang akan dinikahkan denganku. Ternyata, dia adalah seorang pengusaha kebun teh terkenal di Bandung sekaligus putra dari sahabat abi.

Setelah sekian lama aku menunggu, akhirnya aku dipanggil Mbak Azki untuk menemui keluarganya di bawah. Pikirku mereka cepat sekali sampai ke istanaku. Rasa-rasanya jantung ini berdetak sangat kuat. Takdirku akan dipertemukan dengan calon imam, cepat atau lambat. Mulailah aku turun ke bawah dengan kondisi pakaian yang amat rapi.

Langkahku sangat hati-hati mengikuti anak tangga.
"Subhanallah, Ais (panggilan umiku, Aisyiah)! Anak kamu cantik sekali," tutur Tante Rumi yang antusias saat aku dan Mbak Azki datang.

"Assalamualaikum Tante, Om,'' aku menyapa mereka dengan menggunakan gamis yang dibelikan Mbak Azki berwarna cream senada dengan kerudung syar'i ku.

"Waalaikumsalam. Apa kabar, Nak? Baru kali ini kita bertemu, 'kan?" tanya tante Rumi.

"Alhamdulillah, baik tante," sapaku menatap sekilas pria yang menunduk itu.

DEG. DEG. DEG. DEG.

Dia mengangkat kepala dan tersenyum, segera dengan cepat aku mengalihkan pandangan mataku. Aku sangat gugup sekali, ya, Allah.

"Kami datang seperti yang dijelaskan Abimu padamu. Kami sudah mengetahui semua tentangmu, putra kami ingin melamar dan meminangmu. Bagaimana, Nak? Apakah kamu bersedia?" Om Herman berbicara terus terang. Seketika itu kepalaku menunduk. Otakku beku. Bingung ingin menjawab apa.

"Jawablah, Nak. Kami akan menerima keputusanmu. Sebelum hal ini kami bicarakan serius dengan Abimu, Om Herman dan Tante Rumi sudah mengetahui tentang mimpimu untuk melanjutkan pendidikan ke Kairo. Di sisi lain, mereka memahami kedua orang tuamu juga akan menghargai apapun hasil jawabanmu," lanjut Abi panjang.

Jantungku kembali berdetak kencang. Laki-laki itu kembali melihat sekilas dan tidak bisa kupungkiri dia memang tampan.

"Nalekha? Ayo dijawab pertanyaannya, sayang," umi menegurku.

"Baiklah. Nalekha tidak akan mengecewakan Umi, Abi, atau pun Om Herman sekeluarga. Kalau menurut kalian Mas Fawwaz adalah jodoh Nalekha, Nalekha setuju, tapi ...." Dalam hatiku, aku semakin menggerutu. Belum bisa menerima semua kehadiran permasalahan ini dengan cepat. Menatap mata mereka satu per satu saja sudah takut.

"Tapi apa, Nak? Apakah ada yang mengganjal? Ceritakan saja," Om Herman pun menyela.

"Kalau kalian merasa tidak keberatan, Lekha tidak ingin terburu buru dulu untuk menikah. Aku juga ingin bermimpi untuk terakhir kalinya bisa mengunjungi Mesir bersama-sama teman Lekha. Tenang saja, aku hanya butuh dua hari saja kok di sana," mintaku jelas. Kuharap, ini menjadi yang terbaik untuk diriku sendiri.

"Kok tidak pernah cerita pada Umi, Nak?" tanya umi. Aku sengaja tidak mengatakannya kepada beliau, karena aku tahu mereka tidak akan memperbolehkanku pergi jauh-jauh.

"Maafkan Lekha, Umi," pelan suaraku.

"Alhamdullilah, kalau begitu kami juga tidak memaksa untuk buru-buru, nanti kita bisa bicarakan lagi, ya." Syukurlah, Tante Rumi merasa tidak keberatan. Aku lega sekali.

Fawwaz

Dia adalah Nalekha. Calon istri ku. Dia datang bersama kakak perempuannya menuju ke ruangan ini. Dia perempuan yang sempurna. Sepenglihatanku, tidak ada lagi pria lain yang ingin menikahinya selain aku.

"Kami datang seperti yang dijelaskan Abimu padamu. Kami sudah mengetahui semua tentangmu, putra kami ingin melamar dan meminangmu. Bagaimana, Nak? Apakah kamu bersedia?" tanya Ayahku yang hebat dalam merayu ego lawan bicaranya.

Dia menunduk dan diam. Tidak mengeluarkan sepatah dua kata pun. Selagi dia diam, ibuku hanya tersenyum. Berharap di bola matanya ada sesuatu kabar bahagia yang bisa ia terima pada hari itu juga.

"Jawablah, Nak. Kami akan menerima keputusanmu. Sebelum hal ini kami bicarakan serius dengan Abimu, Om Herman dan Tante Rumi sudah mengetahui tentang mimpimu untuk melanjutkan pendidikan ke Kairo. Di sisi lain, mereka memahami kedua orang tuamu juga akan menghargai apapun hasil jawabanmu," kata Abinya. Aku memahami dia jugalah seorang wanita ambisius.

"Nalekha? Ayo dijawab pertanyaannya, sayang," ibuku menegurnya.

"Baiklah. Nalekha tidak akan mengecewakan Umi, Abi, atau pun Om Herman sekeluarga. Kalau menurut kalian Mas Fawwaz adalah jodoh Nalekha, Nalekha setuju, tapi ...." Yes, Nalekha mau dinikahkan denganku. Tetapi, pernyataan dia membuat seisi kepalaku makin penasaran. Aku terus memandangnya selama dia berbicara. Aku ingin tahu apa yang ia inginkan.

"Tapi apa, Nak? Apakah ada yang mengganjal? Ceritakan saja," potong Ayah.

"Kalau kalian merasa tidak keberatan, Lekha tidak ingin terburu buru dulu untuk menikah. Aku juga ingin bermimpi untuk terakhir kalinya bisa mengunjungi Mesir bersama-sama teman Lekha.

Tenang saja, aku hanya butuh dua hari saja kok di sana," ucapnya jelas. Saat dia berhenti bicara, terus terang ia menatapku sambil tersenyum kecil.

Dia menyetujui perjodohanku. Hari ini jiwaku dibuat lega olehnya, entah mungkin aku memang sudah mulai menyukainya. Tetapi bagaimana dengan Hawa dia pasti telah menunggu janji dariku, bagaimana dengan nasib hubungan kami sudahlah aku juga tidak tahu, setelah ini aku yakin ada jalan keluar untuk ku.

***

Nalekha [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang