13. Amarah

3.1K 247 39
                                        


- - m e s s y - -

"Akhirnya main ke sini lagi lo," kata cowok yang berpenampilan urakan itu. Rambutnya sedikit ikal berwarna hitam. Ia menyentil ujung batang rokoknya agar putung rokoknya jatuh ke lantai.

Gale masih dengan ekspresinya yang begitu datar itu. Dia tidak suka berbasa-basi. Wajahnya tak mungkin menujukan senyuman untuk hal yang tidak ia suka—senyuman tipis sekalipun. Hanya akan ada keangkuhan yang mendominasi wajahnya yang mendongak itu.

Salah satu cowok lain yang menggunakan jeans belel itu tersenyum senang, ia mendekati Gale lalu memeluk Gale beberapa detik sebagai salam pada Gale. "Gue kira lo lupa main ke sini," katanya seolah tidak menyadari wajah kaku Gale.

"Siapa yang bawa Angki ke sini?" Tanyanya dengan dingin. Selepas dari rumah Philove, Gale memilih kembali menemui teman-teman lamanya itu.

Beberapa cowok yang Gale kenal itu hanya terdiam, tentu mereka tak akan berani banyak bicara kalau pertanyaan Gale menyudutkan. Ini seperti berdiri di atas jurang ketika dikejar singa, melangkah salah, mundur siap dihabisi. Mereka bukan tandingan Gale, meskipun Gale tidak bahaya, hanya saja seseorang itu selalu berpesan untuk tidak mengganggu Gale.

Mereka bukan remaja biasa, mereka adalah komplotan yang pernah menjadi bawahan salah satu mafia paling berbahaya di kota itu. Namun, naas, mafia itu justru mendapatlan hukuman mati untuk kasus pembunuhan yang dilakukannya dengan keji. Hal itu tetap tidak menutupi betapa menyeramkan komplotan mata angin yang bahkan dikenal sampai ke sudut-sudut kota. Gerakan mereka berbahaya, licik, dan tidak menggunakan hati.

"Gue tanya, Cal!" Gertak Gale pada cowok berambut ikal itu, namanya Rical.

Rical mematikan api di batang rokoknya yang bahkan masih panjang itu. Ia berdiri mendekati Gale yang sudah tidak bersahabat itu. Beberapa cowok lain memilih mundur dan mempersilahkan Rical menghadapi Gale.

"Santai aja, Le, Angki nggak bakal kenapa-kenapa kok."

Gale tanpa aba-aba melayangkan bogemannya ke wajah Rical. "Angki masih bayi tolol!"

Rical yang tadi terhuyung sudah kembali berdiri tegak dibantu Gata. Setelah itu Rical menyuruh Gata kembali dan tidak ikut campur. Rical lah yang lebih sebanding dengan Gale, bahkan bisa dikatakan kalau Gale bukan apa-apa. Rical bukan sembarang remaja laki-laki, cowok itu begitu berdarah dingin.

Tangan Rical menepuk bahu Gale, mencoba membuat cowok itu lebih tenang. Senyuman kecil terbentuk di wajah Rical, meski sudut bibirnya pun sudah berdarah. "Mata Angin cuma nandain sedikit, Le."

Gale menatap tajam Rical. "Buat apa brengsek?!"

"Angki sama Philove akan lebih aman dimanapun mereka ada," kata Rical.

"Otak lo dimana?! Mereka jutru bisa aja keseret kalo Mata Angin ada masalah!" Gale menarik kaos Rical, matanya beradu dengan mata Rical yang begitu tenang itu. "Angki nggak butuh tanda Mata Angin!"

Rical tersenyum saja ketika Gale mendorong tubuhnya. Meskipun belum lama mengenal Gale, tapi Rical tahu betapa keras kepalanya Gale. "Lo bisa ngomong gitu, tapi pada kenyataannya, Angki tetep butuh dan harus ada di bawah pengawasan mata angin, Le."

Gale hanya diam menatap Rical dengan nyalang. Semua bagian dari Mata Angin akan memiliki satu tatto berbentuk mata angin seperti yang ada di tangan Angki. Mereka bebas dimanapun menandainya. Gale pernah memiliki itu, bukan tatto tetap, hajya sebuah tatto yang bertahan kurang lebih satu tahun, jika hilang bisa di tatto ulang.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang