Lagi males ngedit plis, maapin kalo typo.- - m e s s y - -
"Gue balik ya," pamit Aldo ketika sampai di halaman depan rumah Kein.
Belum sempat Kein menjawab, tubuhnya lebih dulu dipeluk seseorang yang datang dengan tiba-tiba. Isak tangis itu sudah tidak terbendung, membuat Kein kebingungan. Dipeluknya balik Reila yang sudah tersedu-sedu itu.
"Hiks... hiks... hiks."
"Gue pulang, nanti hubungin gue ya." Aldo dengan canggung segera berbalik arah ketika sudah diangguki Kein. Ia tahu kalau dirinya perlu pamit undur diri dan membiarkan Kein bersama perempuan yang baru saja datang itu.
Sebelah tangan Kein ia gunakan untuk mengusap punggung Reila dengan sayang, mencoba menenangkan saudara satu-satunya itu. Sedangkan sebelah tangannya ia gunakan untuk memegang bucket pemberian Aldo. Pelukan Reila begitu erat, entah hal apa yang sudah membuatnya sampai sehancur ini.
Apapun yang akan ia hadapi setelah ini, Kein masih sanggup. Untuk setiap rasa sakit yang masih terus hadir, semoga hatinya lekas mengikhlaskan. Untuk setiap pilu yang masih saja memeluk, semoga masih ada kekuatan yang tersisa. Dan untuk setiap luka, semoga hatinya lekas sembuh.
Reila melepaskan pelukan itu, ditatapnya Kein dengan matanya yang memerah itu. Ia menggenggam tangan Kein kemudian membuka suaranya, "Habis kelulusan, ikut gue ya?"
Kein menatap Reila bingung. "Kenapa, Rei?" Tanyanya kemudian.
Reila tersenyum dengan menahan tangis. "Nggak semua sebaik-baik keliatannya 'kan, Kein?"
Ia belum mengerti apa yang dimaksud Reila, kedatangan Kakaknya itu terlalu tiba-tiba. "Rei, kenapa?"
Sekali lagi Reila memeluk Kein dengan erat, ia kembali menangis sejadi-jadinya. Sebagai seorang Kakak, ia tetap merasakan sakitnya menjadi Kein. Ia tahu sudah sejauh apa yang keduanya lewati, begitu banyak hal yang membuat mereka sekuat sekarang.
"Rumah ini bakal dijual," lirihnya, ia bahkan memejamkan mata karena tidak tahu kenapa begitu sakit mengatakan kalimat itu pada Kein.
Kein rasanya seperti dilemparkan ke laut yang begitu dalam, kepalanya berputar cepat membuatnya sedikit pusing. Rongga dadanya seolah kehilangan pasokan oksigen detik itu juga. Ia terdiam sampai beberapa saat untuk mencerna kalimat singkat yang Reila lontarkan.
Lagi? Batinnya berbisik pilu.
Di depan Reila, Kein tidak mungkin menunjukkan kesedihannya, ia harus menjadi penguat untuk Reila. Padahal, sebelum ini, ia pun sudah siap runtuh dengan perlahan. Ternyata garis takdirnya memang dibuat berliku, ia tidak akan menyalahkan siapapun, Pemilik semesta lebih tahu tentang kesanggupannya menghadapi semua.
Semoga masih ada kekuatan yang tersisa.
Ketimbang menanyakan banyak hal, Kein justru tersenyum pada Reila. Siapapun tahu kalau itu senyuman getir yang ia perlihatkan. "Masuk dulu yuk," ajaknya kemudian.
Keduanya beriringan melangkah ke dalam rumah, suara tangisan Reila menjadi nada di kesunyian dinding-dinding dingin itu. Entah harus merasa senang atau justru sedih karena kepulangan Reila. Yang kembali terkadang justru membawa luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Messy (COMPLETE)
Teen FictionDari awal pun, hubungan ini dimulai dengan alasan yang tidak jelas. Terlalu berantakan untuk memulai cinta di dalamnya. Ada yang salah dalam hubungan ini, tapi mereka sama-sama tidak peduli, atau lebih tepatnya berpura-pura tidak peduli. Sesuatu yan...