39. Yang Sebenarnya

2.3K 286 57
                                    



- - m e s s y - -

Setelah seminggu lebih memilih menjadi manusia paling tidak peduli pada dunia, Gale kini kembali mencoba membuka dirinya. Semua harus dihadapi, meskipun terkadang sepahit itu. Oh ayolah, dia tidak mungkin menjadi cowok menye-menye yang memperlihatkan bagaimana lukanya, bukan Gale sekali.

Cowok itu memilih diam ketika perempuan yang duduk tak jauh darinya itu menangis. Ketimbang mendekati dan menenangkan, Gale memilih diam di tempatnya. Membiarkan tangisan itu semakin menjadi, suaranya menyayat. Dulu, ia tidak pernah tega melihat perempuan cantik itu menangis. Setiap mengingat kelabu yang disisipkan Philove pada hidupnya, Gale menarik dirinya.

"Sekarang kamu maunya gimana, Ar?" Tanyanya dengan suara serak, pipinya basah air mata. Mata cantik itu memerah karena menangis hebat.

Gale tidak merespon, ia benar-benar takut salah mengambil keputusan, takut kalau keputusannya justru menyakiti. Matanya melirik Angki yang bermain di karpet itu, terlihat begitu asik dengan dunianya sendiri.

Philove mengusap pipinya, matanya bertemu dengan tatapan itu. Rasanya sakit ketika Gale menganggapnya begitu asing padahal mereka pernah saling dulu. Tidak hanya Gale yang tersakiti, dirinya pun merasakan yang sama. Dianggap paling jahat hanya dari kata orang.

Selama ini, Philove pun menyimpan semua sendiri. Selalu dipandang rendah, seolah menjadi tokoh antagonis di kisah orang lain, atau direndahkan secara terang-terangan. Kalau bisa memilih, ia juga tidak mau ada di posisi seperti ini. Hidupnya tidak semembahagiakan kelihatannya. Sudah banyak yang ia lewati dengan rasa sakit, egois adalah caranya mempertahankan. Mungkin, penilaian baik buruk tidak seharusnya menjadi wewenang orang lain.

Dia seorang Ibu, apapun pasti akan ia lakukan demi anaknya. Ia tidak mau anaknya hidup dengan susah, namun sekarang? Haruskah Angki merasakan menjadi dirinya dulu? Kalau dengan dibenci orang lain bisa membuatnya bahagia, rasanya itu akan Philove lakukan. Ia tidak memiliki siapapun selain Angki, satu-satunya harapan ketika Banyu justru pulang lebih dulu.

"Aku capek dianggap paling jahat disini, kamu nggak tau rasanya dianggap jadi perempuan rendah, Le."

Gale yang sedari tadi duduk dengan sedikit menunduk itu mengangkat kepalanya.

"Kamu sendiri yang mau jalanin gini 'kan?"

Philove tersenyum miris. "Selama ini apa yang aku pikir bener, kamu sama kayak orang lain, Le, ngeliat aku serendah itu."

"Kenapa ngerasa paling tersakiti padahal kamu juga nyakitin orang lain?" Sarkas Gale.

"Kita selesaiin ini, Le," kata Philove pelan.

"Kita udah selesai dari lama kalo kamu lupa."

Air mata itu kembali menetes di pipinya, bukan seperti ini yang ia ingin. Andai Banyu masih di sisinya, ia tidak akan kembali merasakan sakit. Cowok paling bertanggung jawab yang pernah ia temui setelah Gale. Tapi, Banyu berbeda, entah kenapa perlakuannya bisa membuat Philove merasa hidup.

"Aku minta maaf soal aku sama Banyu," sesalnya. Setelah sekian lama, akhirnya kata maaf bisa ia ungkapkan. Ia siap membuka semua, meskipun dulu dirinya sendiri yang meminta agar Gale tak perlu tahu.

"Kamu ngehianatin aku, Phi." Suara serak Gale menandakan betapa kecewa cowok yang kini menatap Philove kosong. "Nggak ada kata maaf untuk penghianatan."

Philove merasakan sesak di rongga dadanya, mendesah pelan karena harus mengatakan semuanya.

"Kamu hamil sama Banyu di saat kamu masih jadi pacar aku!" Gale menahan dirinya untuk tidak berteriak.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang