- - m e s s y - -
Jarum jam sudah menunjuk pukul empat dini hari, namun, sampai detik ini Gale belum bisa terlelap sedikitpun. Sejak beberapa jam yang lalu ia hanya termenung di balkon kamar itu, tempat ternyaman untuknya diam. Pikirannya kalut, segalanya semakin kacau, ia tidak tahu akan kemana membagi apa yang menjadi keresahannya.
Sekali lagi, Gale harus membiasakan dirinya untuk tidak perlu menjelaskan sesuatu kalau pada akhirnya tidak akan ada yang mengerti. Orang-orang begitu mudah menilai dengan menarik kesimpulan masing-masing tanpa tahu apa yang sebenarnya menimpa dirinya. Ia tidak mau bersusah payah menjelaskan kalau yang tetap dipercaya adalah pihak yang lain. Ia menyadari sesuatu yang terlihat oleh mata akan selalu dianggap benar, padahal apa yang dibaliknya belum diketahui.
Gale mengacak rambutnya asal, ia tersenyum masam. Matanya memandang lurus langit gelap yang tidak disinggahi satupun bintang. Dirinya merasa begitu kosong, hal-hal yang terjadi beberapa jam yang lalu membuatnya semakin merasa hampa.
Gale setengah menoleh untuk melihat Kein yang terlelap di atas ranjang yang selalu ia tiduri ketika datang ke apartemen ini. Jejak air mata itu mungkin sudah hilang, namun Gale bisa melihat jelas tatapan terluka Kein. Bahkan dengan mata Kein yang terpejam. Gale tidak buta kalau Kein mungkin sedang ada masalah lain, ia mengenal Kein.
Lo bisanya apa sih selain kasar sama dia?
Gale mendengus mendengar suara hatinya sendiri, ia benci mengakui kalau dirinya sudah melakukan itu pada Kein. Entah karena Kein yang selalu sabar menghadapinya atau bagaimana, Gale sendiri seolah tidak pernah menganggap perlakuannya selama ini menyakiti Kein. Ia benci dirinya sendiri ketika menyadari betapa brengsek dirinya setelah semua terjadi.
Sekarang dia masih sama lo, tapi nanti? Lo lupa kalo lo pantes ditinggalin?
Gale memukul kepalanya kuat, suara siapa yang berani menghakiminya? Namun detik kemudian ia menyadari kalau itu mungkin sisi dirinya yang lain. Ia tahu sewaktu-waktu Kein bisa meninggalkannya, mengingat itu Gale menyadari ia memang tidak pernah pantas diterima. Sialnya, kalimat-kalimat menyakitkan yang pernah ia dengar mendadak berputar di memori otaknya.
Ia bukan sosok paling sempurna seperti yang orang-orang katakan, bukan sosok yang tepat untuk dipuja. Ia bukan sosok yang begitu suci sampai tak terlihat kotor, padahal jelas dirinya terlalu kotor bahkan di usianya yang masih sangat muda. Ia bukan sosok yang baik sehingga pantas diterima. Ia bukan sosok yang tepat untuk dijadikan sandaran, karena jelas dirinya kebingungan mencari tempat bersandar. Gale mengakui kalau dirinya tidak pernah sama dengan yang orang lain katakan.
Tidak perlu mengatakan dirinya baik, karena jelas ia bukan orang baik. Sifat keras kepala yang melekat di dalam dirinya membuat Gale selalu terlihat salah. Namun, Gale sama sekali tidak mengambil pusing. Baginya masih sama, penilaian orang lain atas dirinya bukanlah sesuatu yang penting.
Drrtt Drrtt
Gale dengan cepat mengambil benda pipih yang selalu ada di dekatnya itu. Tangannya mengusap layar itu lalu hanya berselang beberapa detik sebuah pesan yang baru saja masuk bisa ia baca. Tanpa menunggu waktu lama, ia berjalan masuk ke dalam kamar itu lalu melangkah menuju pintu. Yang ada di pikirannya saat itu hanya pergi secepat mungkin dari apartemen.
- - m e s s y - -
"Belum dicabut 'kan nyawanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Messy (COMPLETE)
Teen FictionDari awal pun, hubungan ini dimulai dengan alasan yang tidak jelas. Terlalu berantakan untuk memulai cinta di dalamnya. Ada yang salah dalam hubungan ini, tapi mereka sama-sama tidak peduli, atau lebih tepatnya berpura-pura tidak peduli. Sesuatu yan...