32. Babak belur

2.7K 230 19
                                    


- - m e s s y - -

"Hati-hati di jalan," kata Kein ketika Gale sudah siap melajukan kendaraannya, keduanya saling melambaikan tangan sampai kemudian mobil itu meninggalkan halaman depan rumah Kein.

Setelah mobil Gale hilang dari pandangannya, Kein berjalan memasuki area rumah sederhana tempatnya kembali itu. Tadi Gale mengantarkannya pulang karena dirinya tidak membawa motornya. Keduanya memang sengaja berangkat dan pulang bersama, bisa dibilang untuk hari ini Gale yang sedikit memaksa untuk tetap ke sekolah bersama, padahal Kein sudah mengatakan kalau dirinya ingin mengendarai motornya saja, namun Gale menolak. Pagi tadi bahkan sebelum Kein membuka pintu rumahnya, Gale sudah menjemputnya.

Kein mendorong pintu yang baru saja ia buka kuncinya itu, seperti biasanya—selalu sama, hanya sunyi yang menyambut kepulangannya. Tidak apa-apa, ia masih sekuat seperti yang terlihat. Tidak apa-apa, ia masih sanggup, memang sudah jalannya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Bukan orang lain yang menjawab, melainkan Kein sendiri yang menjawab salamnya. Ditutupnya pintu rumah itu, lalu ia menuju ke kamarnya untuk beristirahat terlebih dahulu.

Kamar yang sangat minimalist namun selalu memberikan kenyamanan pada Kein untuk tetap pulang, ruang dimana ia berbagi apa-apa saja yang sudah ia lewati. Berbicara dengan dinding dingin yang justru menenangkan dirinya, baginya tidak masalah berbicara sendirian. Nanti, siapapun pasti akan memilih hal yang sama seperti yang ia lakukan ketika dunia semakin membingungkan.

Diletakkannya ransel yang ia pakai setiap hari itu di gantungan dekat pintu, ia lalu melangkahkan kakinya ke ranjang dan merebahkan diri sebentar. Sudah menjadi kebiasaan Kein ketika sampai di rumahnya, hal yang ia lakukan pertama kali adalah rebahan, karena rebahan itu nikmat. Biasanya Kein berganti baju sekalian mandi sore, itupun mendekati maghrib. Terkadang seharian di sekolah itu melelahkan, meski begitu, Kein senang jika harus ke sekolah, bukan karena untuk belajar melainkan menarik diri dari masalahnya lalu bercengkrama dengan teman-temannya.

Langit-langit kamar menjadi fokusnya saat ini, mendadak ia ingat Reila—kakaknya. Sudah lama dirinya tidak menelpon Rei, mungkin dirinya dan Rei tidak terlihat dekat ataupun akrab, namun keduanya selalu saling menguatkan. Baik Kein ataupun Reila sadar yang mereka miliki hanya keduanya, mereka ditempa sejak kecil bersama, lalu menguat bersama.

Tring!

Kein menoleh ketika gadget yang ia letakkan tidak jauh dari kepalanya rebahan itu menyala dan terdapat notifikasi pesan di sana. Memang ikatan batin, ternyata itu pesan dari Reila.

Reila : Gue telpon ya

Tidak berselang lama, layar benda pipih itu menunjukkan kalau ada panggilan masuk yang sudah pasti dari Reila. Kein menggeser layar itu sampai kemudian panggilan itu tersambung.

"Gimana Rei—"

"Huhuhuhu.... hiks hiks."

Kein terdiam, mendengar Reila menangis adalah hal yang ia benci. Setiap Reila menangis ia seperti kembali melihat semua yang pernah keduanya lewati. Reila yang selalu berusaha melindunginya dulu, menjadi temannya ketika keluarganya dalam kondisi yang kacau ekonominya. Kein jadi kembali membayangkan ketika Reila menangis saat perpisahan itu datang, yang membuat Kein tidak pernah mau mengingatnya. Kalau ada tipe orang yang ketika menangis bisa terlihat sangat menyakitkan dan memilukan, maka Reila salah satu contohnya.

"Kok nangis, Rei?" tanya Kein dengan lembut, ia tahu pasti hal berat baru saja dilalui perempuan yang hanya berbeda beberapa tahun dengannya itu. Kein beranjak dari tempat tidurnya, memilih duduk di karpet bawah.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang