40. Asing

2.4K 267 38
                                        


- - m e s s y - -

"Berat banget ya akhir-akhir ini," gumamnya pelan.

Kein menyandarkan tubuhnya pada dinding kamarnya. Matanya terpejam seperkian detik ketika sedang meresapi setiap rasa yang hadir. Yang semakin terasa asing untuk dirinya sendiri. Seolah beberapa hal yang terjadi menabur perihnya masing-masing. Sama-sama meruntuhkan, cuma caranya beda.

Memeluk lututnya sendiri, meletakkan kepalanya pada tumpuan itu. Pikirannya jauh mengawang untuk setiap yang datang. Sepulang dari menemui Gale tadi, Kein lebih banyak melamun. Ia tidak bisa memberi banyak selain raga yang siap didatangi untuk berkeluh kesah. Dia itu siapa, cuma jiwa yang mahir menipu sekitarnya. Berusaha terlihat baik dan tegar padahal rapuh di segala sisinya.

Menjadi paling tidak sedih padahal pedihnya tidak terhitung. Yang lebih banyak menyimpan ketimbang membagi. Beberapa luka memang sengaja ia biarkan tidak diketahui, terlalu rumit untuk dipahami.

Sering berandai-andai untuk bertemu raga lain yang bisa membuatnya dengan mudah bercerita tentang semua, lalu semesta mengabulkan, tapi kini, semua harus berjalan sendiri-sendiri. Mereka sudah cukup diberi waktu belajar bersama, beriringan untuk saling menguatkan. Pada akhirnya yang pernah satu juga akan jadi dua kembali. Menjadi pihak paling asing padahal pernah saling.

"Nguatin orang lain aja jago," katanya remeh, "Nguatin diri sendiri kok nggak bisa."

Tangannya menyeka sudut matanya yang siap menumpahkan cairan bening itu. Dirinya begitu kosong, sampai ketika air mata itu singgah di matanya, ia tidak tahu untuk apa. Hati kecilnya bertanya lebih dulu; merasa sakit untuk sakit yang mana?

Suaranya bergetar pelan, diamnya menahan air matanya sendiri. "Nggak mau nyerah, tapi capek."

Sudah sebegitu pilunya masih berusaha menahan untuk tidak terlihat paling menyedihkan. Ia tahu banyak yang lebih rasa sakitnya, tapi ia siapa sampai bisa terus baik-baik saja. Setiap diri sudah diadili dengan rasa sakitnya masing-masing, dengan lukanya sendiri, dengan masalah rumit yang sama, cuma emang caranya tidak sama. Sama-sama hampir jatuh untuk sesuatu yang terasa berat.

"Nangis gapapa, nanti senyum lagi," bisiknya pada dirinya sendiri. Pelan, air matanya meluruh seiring dengan rasa sakit yang masih melingkupinya.

Sepertiga menuju pagi, gelap itu menyaksikan dingin yang menjemput lelah di pelupuk matanya. Sayup-sayup tegar kembali dibangun meski tak sekokoh sebelumnya. Kaki-kaki patah itu memilih rehat setelah usaha keras untuk bangkit. Ia butuh istirahat, nanti berusaha lagi.

- - m e s s y - -

Seminggu ini dua orang yang dulu masih saling  bersinggungan itu semakin terasa jauh. Jarang ada di garis yang sama, bahkan sebentarpun benar-benar tidak. Bukan saling menghindar, namun memang sudah banyak yang harus dilupakan. Menutup kisah lama supaya tidak semakin terasa menyakitkan. Sama-sama ikhlas untuk luka yang mengikis kata sabar.

Dua yang hanya beberapa kali bersitatap itu benar-benar membuktikan perjanjian keduanya. Saling melepas tanpa merasa tersakiti, tapi tidak mungkin senaif itu sampai merasa semua masih sama. Mereka berusaha membantu satu sama lain untuk benar-benar meninggalkan memori lama. Senyuman tipis yang diperlihatkan setiap kali tak sengaja bertemu justru menabur garam di sayat-sayat yang tercipta. Karena lebih jauh dari senyuman tipis tanda ramah, ada sirat kecewa di balik dalamnya mata yang menatap.

Kein menghela napasnya berat, matanya bisa melihat punggung tegap itu berjalan semakin menjauh darinya. Tangannya yang memeluk hoodie hitam itu semakin mengerat. Tidak ada yang harus disesalkan harusnya, namun ia tetap naif karena merasa salah karena bertemu Aldo. Mata gelap itu sempat melirik tangannya, lalu senyuman tipis itu jelas atas ketidakrelaan.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang