24. Kita Ini Apa?

3.1K 310 93
                                        


- - m e s s y - -

Pada akhrinya, setiap kita pasti akan berbicara setelah lama diam dan memendam. Setiap diri kita butuh seseorang yang mendengar dan memahami tanpa banyak menilai rendah. Mungkin nanti, di saat diri berada di titik lelah selelah-lelahnya. Ketika semua beban semakin terasa berat, ketika setiap kecewa tak menemukan bahagia, ketika semua perjuangan terasa begitu sia-sia, yang kita butuhkan bukan lagi mengeluh atau bahkan berniat menyerah, kita hanya butuh rehat sejenak dari segala penat.

Ada kalanya menyerah menjadi pilihan ketika tekanan semakin kuat, namun, lebih jauh dari itu, yang terpenting adalah bagaimana cara diri kita tetap menyayangi diri sendiri. Sebab, sejauh apapun orang lain memahami, yang paling mengerti adalah diri sendiri. Terlihat sederhana, namun, banyak yang memilih menyakiti diri sendiri ketika takdir tak sesuai keinginan hati, padahal, yang seharusnya dilakukan adalah tetap berdiri lalu melangkah lagi ke depan. Bertahan untuk membuktikan kalau semesta pasti memberi kebaikan pada waktunya nanti.

Yang jelas, setiap diri kita akan selalu merasa baik-baik saja pada waktunya. Akan merasa bahagia setelah berduka, sabar adalah kunci segalanya.

Awan putih menghiasi langit biru siang itu, semilir angin membuat udara di bumi tidak terlalu panas. Di sudut kedai kopi itu, dua remaja sedang berbicang ringan. Dua gelas minuman segar menjadi pelengkapnya.

Kenapa lo baik banget sih Do sama gue? Kein bertanya pada dirinya sendiri. Matanya menatap Aldo yang sedang tertawa kecil itu.

Setiap bersama Aldo akhir-akhir ini, Kein selalu merasa nyaman. Ia bisa berbicara tanpa menahan dirinya, entah ini hanya kebetulan atau apa, namun ketiadaan Andra bisa digantikan oleh Aldo. Ditambah Gibran juga Troy yang beberapa kali ada di dekatnya.

"Lo tau nggak? Kalimat apa yang dibilang psikolog tadi ke gue?"

Kein menggeleng, ia tersenyum tipis pada Aldo.

"Dia kuat, tapi dia lelah," katanya sembari menatap Kein dengan serius. Seolah dirinya sedang mempraktekan apa yang dilakukan psikolog tadi. "Berhenti sebentar, Kein, jangan terus melangkah padahal diri lo lagi capek."

"Gue nggak apa-apa kali, Do," balas Kein.

Aldo berdecak pelan. "Lo tuh!"

"Nggak semua hal di diri gue itu topeng, Do. Gue ya emang gini, bukan gue nggak mau keliatan rapuh atau apapun itu, tapi bagi gue, orang lain nggak perlu tau apapun yang gue rasain. Mereka nggak akan tau, bahkan ketika ngeliat gue nangis, orang lain pun nggak akan ngerti apa yang gue rasain. Lagipula, gue bukan orang yang butuh perhatianlebih dari orang lain. Gue punya diri gue sendiri."

"Lo nggak bisa egois sama diri lo sendiri Keina."

Kein hanya diam, ia tidak mau membalas apapun ucapan Aldo. Ia sendiri tidak terlalu menyukai obrolan semacam ini dengan orang lain. Baginya, orang lain tidak perlu mencampuri hidupnya terlalu jauh. Bagaimanapun dia masih memiliki kekuatan di dalam dirinya sendiri, tidak perlu orang lain.

Terlihat egois memang. Inilah salah satu alasan Kein belum pernah ingin menemui psikolog selama ini. Ada sebagian dari dirinya yang tidak rela kalau rahasia terbesar di hidupnya dibagi begitu saja. Ada ketidakrelaan saat apa yang ia rasakan diketahui orang lain. Ia merasa kalaupun hal-hal yang ia rasakan dibagi pada orang lain, justru dirinya semakin tidak terkendali. Ia memiliki kecemasan yang besar atas hal yang tak berdasar.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang