42. Pamit

2.7K 313 92
                                    


- - m e s s y - -

Dua orang yang dekat tapi akhir-akhir ini terpisah itu duduk santai di teras rumah. Susu kotak strawberry dan coklat tidak mungkin ketinggalan, martabak jadi pelengkapnya. Malam hampir larut namun keduanya masih betah berlama-lama mengobrol, bertukar informasi atau bahkan hanya kalimat tidak berguna tapi membuat keduanya paham.

"Gimana sama Gale?" Andra bertanya.

Kein mengerutkan keningnya. "Gimana apanya?"

Andra berdecak mendengar pertanyaan Kein itu, ia meletakkan kotak susu itu dengan cepat. Kini dirinya sudah menatap Kein dan siap menyemprot sahabatnya itu. "Jangan pura-pura nggak tau ya! Lo ngerti maksud gue! Huh!"

"Ya nggak gimana-gimana," jawabnya, "Udahan seperti seharusnya."

"Nggak mau balikan?"

Kein memilih diam dan tidak menjawab langsung, matanya memandang langit malam yang cerah itu. "Siapa yang nggak mau balikan sama orang yang kita sayang, Ndra? Pasti mau, cuma emang harus masing-masing aja."

Andra menahan dirinya untuk menanggapi ketika suara Kein kembali terdengar.

"Kadang, kita cuma perlu belajar ngerelain orang yang kita sayang, Ndra. Gue sayang sama Gale, sayang banget, tapi banyak yang harus dibenahi dulu."

"Kalo nanti lo ngga nemuin orang kayak Gale gimana?" Tanya Andra pelan.

"Maka gue cuma perlu nerima orang yang bisa nerima gue," Kein tersenyum, "Gue sampe mikir kalo suatu hari nanti gue ngga dipertemukan sama orang yang bisa nerima semua pilu yang ada di hidup gue, cuma ada satu permintaan sederhana ke Tuhan, kuatin gue ngelewatin semua sendiri. Terlalu banyak pembelajaran dari hidup gue selama ini."

Andra sudah diberi kesempatan untuk mengobrol dengan sahabatnya itu, namun akan selalu ada kalimat sederhana yang membuatnya tertegun. Perempuan yang begitu apa adanya dengan sedih itu. Senyuman menenangkan yang justru mengkhawatirkan.

"Nggak ada yang bisa lebih diharapin kecuali diri kita sendiri," tambahnya masih dengan tersenyum.

"Lo pasti bisa ngelewatin semua," ucap Andra.

"Lo harus inget ini," katanya, "Nggak semua hal yang kita suka itu baik, pun dengan hal yang nggak kita suka. Kalo lo ngejalin hubungan sama seseorang, jadi sisi paling apa adanya ya, Ndra."

Andra mencomot martabak itu lalu memakannya sedikit, ia mengangguk pada Kein. "Pokoknya gue bakal selalu ngabarin lo kalo gue mulai hubungan baru sama lo!"

"Waktu cepet banget ya, kayaknya baru kemarin kenal lo, eh besok lusa kita udah harus mulai perjalanan baru." Kein menoleh pada Andra yang hanya diam itu. Rasanya berpisah dengan Andra tidak pernah ia rencanakan. Namun, setiap yang ada di sisi kita acap kali harus bergegas lebih cepat.

"Rumah ini dijual, gue bersyukur udah ada yang beli, karena sebagian uangnya udah harus buat bayar hutang Ayah, Ndra. Sedih banget cuma gue juga bersyukur, Tuhan tetep baik karena  semuanya nggak dipersulit. Gue nggak mau ngeluh karena Reila pasti ngerasa lebih sakit dibanding gue, setelah ini gue cuma bisa bergantung sama dia."

Kalau Kein rasanya bisa sebiasa itu ketika bercerita padanya, Andra justru sudah ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca, selera makannya menguar di udara. Mengenal Kein lebih dalam pasti membuatnya merasa bersyukur karena dipertemukan dengan sahabat sehebat itu. Ketika banyak sekali pedih yang dirasa, ketimbang mengeluh, dia justru lebih banyak tersenyum dan bersyukur.

Entah masih berapa banyak kekuatan yang ada di raga itu. Seolah setelah banyak hal menyakitkan, ia masih bisa sebaik-baik seperti kelihatannya. Tapi, manusia tidak mungkin sekuat itu, akan selalu ada titik paling memilukan yang membuat diri ingin menyerah.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang