- - m e s s y - -Pagi buta sekali, Gale meninggalkan rumah Kein. Keduanya sudah ke rumah sakit supaya luka di wajah Gale diobati oleh pihak medis, terbukti dengan perban-perban kecil yang kini menghiasi wajah Gale. Bahkan disaat lukanya ditetesi alkohol Gale tidak merasa terusik sedikitpun. Matanya hanya menatap lurus Kein, menyelami keteduhan yang kian hari kian dekat dengannya.
Gale tidak menampik kalau rasanya semakin hari semakin kosong, ketidakjelasan seolah memenjara dirinya. Pada akhirnya Gale menyadari kalau memilih bukanlah hal mudah. Kalau saja membuka dirinya semudah kata orang, sudah pasti ia mati perlahan karena kesalahannya. Sampai detik ini, Gale tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Kini di ruang tengah rumah sederhana itu Gale termenung. Kaki mungil di hadapannya bergerak menendang seolah mengajaknya bermain. Wajah kusutnya kini sirna, terlihat dengan adanya senyuman tipis itu. Tangannya mengayun pelan, memberi kenyamanan.
"Angki udah mam belum?" Tanyanya asal, ia tersenyum kikuk melihat Angki yang ada di pangkuannya tertawa asal.
Entah kenapa Gale selalu merasa dekat dengan Angki. Semua mengalir tanpa dipaksakan, Angki menariknya kembali. Dulu, kata beberapa orang Gale dan Banyu itu seperti kembar, bahkan wajah keduanya sering sekali dikatakan mirip. Dan sekarang Gale menyadari kalau kalimat-kalimat yang lalu mungkin benar, melihat Angki seperti melihat dirinya dan Banyu.
"Kamu habis berantem ya?"
Gale menoleh pada perempuan yang kini sudah duduk di dekatnya dan Angki. Ia menggeleng samar dengan tersenyum tipis, meski begitu siapapun yang melihat tidak mungkin percaya. Beberapa perban kecil di jawah Gale sudah lebih menjelaskan semuanya.
"Sakit?" Philove bertanya lagi, tangannya menyentuh pipi Gale pelan. Lebam yang masih baru itu terlihat jelas menjadi penghias pipinya.
"Enggak."
"Mau sampe kapan berantem-berantem terus sih? Nggak ada kapoknya kamu itu."
Gale hanya diam, ia membenarkan kaki Angki supaya lebih nyaman. Bayangan Banyu menamparnya menggunakan senyuman di wajah Angki. Ia masih sepengecut saat pertama kali semua terjadi, masih sama bodohnya karena tidak tahu harus bersikap seperti apa.
"Ar," panggil Philove dengan lembut. "Aku kasian liat kamu kayak gini, gara-gara aku lagi ya?"
Kalau Gale lupa mendeskripsikan, wajah Philove itu imut sekali. Ekspresi wajahnya yang memelas justru membuatnya terlihat semakin cantik. Digenggamnya dengan pelan tangan Philove yang lembut itu. "Demi Angki, Phi."
Philove berhambur memeluk Gale, menyembunyikan wajahnya pada dada itu. Perlahan isaknya terdengar, terlihat bahunya yang juga bergetar pelan. Gale hanya mengusap pelan punggung yang dilapisi dress simple khas Philove itu. Sebelah tangannya mencoba tetap seimbang menahan Angki.
"Aku sayang sama kamu, Ar," bisiknya pelan.
"Aku juga sayang sama kamu sama Angki, Phi," balas Gale.
Philove melepaskan pelukan itu, dengan mata yang berkaca-kaca ia tersenyum. Tangan Gale refleks mengusap pipi itu, menghapus jejak air mata yang tersisa. Ia ikut tersenyum, perlahan ada perasaan hangat yang melingkupi diri Gale. Ia seperti merasa ada sesuatu yang membuatnya menemukan apa yang ia cari selama beberapa tahun ini.
"Makan malem di luar mau?" Gale memberikan tawaran yang langsung diangguki oleh Philove.
"Kamu mau pulang dulu?"
"Disini aja."
Philove mengambil alih Angki, ia menggendong Angki yang entah kenapa sangat atraktif semenjak kedatangan Gale tadi. Angki belum makan, makanya ia meminta Angki dari Gale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Messy (COMPLETE)
Teen FictionDari awal pun, hubungan ini dimulai dengan alasan yang tidak jelas. Terlalu berantakan untuk memulai cinta di dalamnya. Ada yang salah dalam hubungan ini, tapi mereka sama-sama tidak peduli, atau lebih tepatnya berpura-pura tidak peduli. Sesuatu yan...