43. Sampai di sini

4.2K 355 97
                                    


- - m e s s y - -

Gale tidak lagi peduli apapun di sekitarnya, kendaraannya melaju cepat di jalanan sore itu. Beberapa kali klakson itu berbunyi hanya untuk menyingkirkan kemacetan di setiap lampu merah, yang pada akhirnya sia-sia. Ia mengumpat kasar ketika harus terhalang lampu merah untuk kedua kalinya. Tangannya memukul stir itu tanpa ampun, ia lalu mengusap wajahnya kasar.

Kalau dirinya tahu akan seperti ini, mungkin tidak ia izinkan seseorang itu pergi. Dirinya terlalu bodoh untuk tahu arti kalimat yang diucapkannya semalam. Dan akhirnya, Gale menemukan jawaban dari kegelisahan hatinya yang semakin terasa kosong.

Sedetik setelah lampu lalu lintas itu berganti warna, mobil Gale bergerak cepat. Matanya memancarkan kecemasan, menghapus segala pikiran negatif yang sudah menyergap tubuhnya sejak pertama Mora mengatakan kalau Kein akan pindah dari rumahnya ke luar kota. Dan kesalahan terbesarnya adalah tidak mengetahui hal itu.

Ban mobilnya berdecit di halaman depan rumah Kein, dengan terburu-buru Gale keluar dari mobilnya itu. Setengah berlari mendekati pintu rumah yang selalu menjadi saksi dirinya hancur dan luruh di hadapan Kein. Pintu yang setiap ia datangi tertutup lalu akan digedor dengan tidak beraturan seperti orang kesetanan. Kini ia lakukan hal yang sama, menggedor pintu itu sembari memanggil Kein. Namun tidak lagi ia temukan pintu terbuka dengan senyum hangat menyapa.

Dirinya terlambat.

Tangannya mengepal kuat, matanya terpejam selama beberapa saat. Bayangan yang sedari tadi ia singkirkan dari pikirannya itu menjadi kenyataan pahit yang harus ia terima. Perempuan yang semalam masih ia rengkuh dengan sesak itu sudah pergi. Entah sejauh apa sampai seperti ini rasanya, meninggalkan banyak hal yang belum selesai. Padahal jelas rela yang tempo hari dibangun belum sepenuhnya kokoh, namun pamit tak jua terucap sampai menyisakan lebih banyak sesak.

"Gale harus baik-baik setelah ini."

Gale tersenyum tipis sekali, matanya menatap rumah tempatnya berbagi itu lekat-lekat. Suara Kein berputar di kepalanya. Senyum paling tulus juga binar mata kesukaannya pun tak luput dari memorinya. Kalimat pamit pertama ketika meminta menyudahi hubungan keduanya itu kembali terdengar nyata.

"Masih sama, nggak ada yang baik-baik aja setelah perpisahan, Kein," katanya.

Dan pembual mahir macam apa yang tetap mengatakan semua baik-baik saja setelah perpisahan? Gila! Sudah pasti bukan Gale orangnya. Ia pernah ditinggalkan dan mengakhiri hubungan dengan menyakitkan, namun ternyata kalimat pamit paling lembutlah yang justru meluluhlantakkan dirinya sampai sejauh ini.

"Baik-baik ya di sini."

Ia mendecih pelan. "Pada akhirnya kita nggak pernah baik-baik aja, Kein. Kita nggak pernah siap kehilangan."

Gale menghela napas beratnya, wajahnya pias. Seluruh dirinya siap hancur untuk kesekian kalinya. Ini tentang kenyataan yang harus ia terima, Kein pergi dan ia terlambat. Tidak ada drama berlari-lari atau seolah gelisah mencari, karena ia tahu realita yang sudah di depan mata tak bisa diubah.

- - m e s s y - -

"Kein titip ini." Andra menyodorkan sebuah kotak berwarna coklat yang dililit tali rami itu, di sisi tengahnya terdapat bunga edelweiss yang sudah mengering.

Gale mengambil kotak itu lalu menatapnya lama, ia lebih banyak diam meski sudah duduk lebih dari 30 menit bersama Andra. Satu-satunya orang yang ia temui malam ini, seolah tahu seluruh keresahan di matanya, Andra menyanggupi permintaannya itu. Keduanya tidak berbicara apapun, karena mereka pun tahu kalau bicara tak lagi berguna.

Messy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang